Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perbaikian permohonan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU Agraria). Permohonan tersebut diajukan oleh sejumlah Warga Surabaya yang hak konstitusionalnya terlanggar karena kepemilikan tanah yang diklaim Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya.
Dalam perbaikan tersebut, Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya Muhammad Sholeh mengganti dua nama pemohon karena surat sewa tanah atas nama istri. Pemohon juga menghapus pengujian Pasal 7 dan Pasal 9 UU Agraria sehingga yang diujikan hanya Pasal 17 ayat (1) UU Agraria.
Selain itu, Pemohon menekankan apabila Pemkot Surabaya tidak punya bukti kepemilikan, tanah harus dikembalikan kepada warga. Namun apabila Pemkot Surabaya mampu membuktikan, merujuk pada Pasal 17 UU Agraria, harus ada pembatasan kepemilikan tanah. “Tanah-tanah tersebut yang tidak dipakai oleh Pemkot, harus dibeli oleh negara dan didistribusikan kepada warga yang tidak punya tanah ini,” ujarnya pada sidang perkara nomor 62/PUU-XIII/2015 yang dipimpin Hakim Konstitusi Patrialis Akbar, Senin (22/6).
Pasal 17 ayat (1) UU Agraria menyatakan:
“Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam Pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.”
Dalam petitumnya, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 17 ayat (1) UU Agraria dinyatakan konstitusional sepanjang dimaknai “tanah yang dimiliki badan hukum pemerintah daerah, hanya meliputi tanah yang digunakan oleh instansi pemerintah daerah”.
Pada sidang perdana, Pemohon menjelaskan rumah yang ditempatinya diklaim Pemerintah Surabaya sebagai tanah milik pemerintah kota. Sebab, Pemohon dan puluhan ribu warga lainnya tidak memiliki sertifikat hak milik dan hanya memiliki surat sewa yang disebut surat hijau. “Pada tahun 1970-an, Warga Surabaya itu diminta untuk menyerahkan surat tanahnya dengan dalih akan dinaikkan menjadi sertifikat. Tetapi yang keluar bukan sertifikat hak milik tetapi surat hijau tadi,” ujar Sholeh, Senin (8/6).
Menurut Sholeh, dari 126 kelurahan, sekitar 78 kelurahan penduduknya hanya memiliki surat hijau. Dengan kata lain, lebih dari sepertiga wilayah Kota Surabaya diklaim merupakan tanah pemerintah kota dan warga yang tinggal di wilayah tersebut harus membayar sewa. Ia menjelaskan, warga setempat telah mengajukan gugatan ke pengadilan namun tidak pernah menang, baik itu tingkat pertama, kedua, maupun Mahkamah Agung. Mereka mengajukan ke Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara. (Lulu Hanifah)