Sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan) - Perkara No. 50/PUU-XIII/2015 digelar pada Senin (22/6) siang, di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK). Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Pihak Terkait, yakni Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI).
Imran Nating selaku Sekretaris Jenderal AKPI menjelaskan bahwa tidak ada hak konstitusional Pemohon yang dilanggar oleh Pasal 69 ayat (2) huruf a Undang-Undang Kepailitan. AKPI berpendapat, ketentuan Pasal 69 ayat (2) huruf a telah sejalan dengan semangat dan maksud kekhususan UU Kepailitan. UU a quo telah menetapkan bahwa kepailitan adalah sita umum atas seluruh harta debitur pailit, yang mengakibatkan debitur pailit tidak berwenang lagi untuk mengurus harta kekayaannya.
“Karenanya diangkatlah kurator untuk mengurus dan membereskan harta pailit tersebut tanpa perlu mendapat persetujuan terlebih dahulu kepada debitur pailit. Karena kurator bekerja untuk kepentingan harta pailit, bukan untuk kepentingan para kreditur atau debitur pailit,” ucap Imran.
Imran melanjutkan, terhadap dugaan tindakan sewenang-wenang dan tidak profesional dari kurator yang menjadi akar permasalahan permohonan, maka UU Kepailitan telah menyiapkan jalan keluarnya yaitu dengan meminta kepada hakim pengawas untuk memerintahkan kurator melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Termasuk juga meminta pertanggung jawaban kurator secara perdata atau pidana dan atau mengadukan kurator ke dewan kehormatan organisasi asal kurator tersebut.
Sebagaimana diketahui, perkara ini dimohonkan oleh Tato Suwarto sebagai pendiri, pemegang saham dan direktur Utama PT. Batamas Jala Nusantara, perseroan yang didirikan pada 1986 dan berkedudukan di Batam. Saat krisis ekonomi tahun 1998, partner Pemohon selaku Direktur Utama PT. Batamec menyatakan tidak mampu menjalankan usaha, sehingga solusinya adalah pergantian jabatan Pemohon yang semula menjabat Komisaris Utama menjadi Direktur Utama PT. Batamec. Sementara partner asingnya yang semula menjabat Direktur Utama menjadi Komisaris Utama PT. Batamec.
Pemohon dinyatakan pailit dan merasa dicurangi oleh partner asing OTTO Industrial Co Pte Ltd dkk dengan menguasai aset PT. Batamas Jala Nusantara dan operasionalnya oleh partner asing, melalui kepailitan curang terencana dengan memasukkan keterangan alamat yang tidak sebenarnya ke dalam permohonan pernyataan pailit. Padahal mereka mengetahui tempat kedudukan PT. Batamas Jala Nusantara yang sebenarnya.
Atas kepailitan tersebut, Pemohon telah dipidana penjara selama 10 bulan. Hal ini mengakibatkan kurator dapat dengan leluasa melawan hukum dan melawan hak, melakukan lelang terhadap barang-barang bergerak termasuk lelang saham pesero dan lelang barang-barang tidak bergerak dengan pembelinya dari lingkungan sendiri. Pemohon menganggap telah kehilangan hak mengurus harta pailit yang termasuk dalam sita umum kepailitan yang pengurusannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Untuk itu, Pemohon menilai Pasal 69 ayat 2 huruf a UU Kepailitan tidak memberikan batasan yang tegas terhadap tugas seorang kurator.
Pasal 69 ayat (2) huruf a UU a quo menyebutkan, “Dalam melaksanakan tugasnya, kurator: (a) tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitur atau salah satu organ debitor, meskipun dalam keadaan di luar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan.”
Pasal a quo dianggap memberikan hak yang dominan dan tidak terbatas terhadap seorang kurator dengan menempatkan kedudukan debitur selaku pemilik harta pailit sebagai pihak luar dalam proses pengurusan dan pemberesan harta pailit. (Nano Tresna Arfana)