JAKARTA, KOMPAS — Setidaknya ada tiga opsi agar larangan politik dinasti dalam pemilihan kepala daerah, seperti diatur di dalam undang-undang pemilihan kepala daerah, tidak disiasati oleh petahana. Ketiga opsi itu ada di tangan Komisi Pemilihan Umum, Menteri Dalam Negeri, dan partai politik.
Pengamat hukum dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung, Asep Warlan Yusuf, Kamis (18/6), mengatakan, tafsiran Komisi Pemilihan Umum (KPU) terhadap petahana di Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tidak cukup mencegah politik dinasti. Padahal, tujuan munculnya pasal itu untuk mencegah politik dinasti.
Pasal 1 Angka 6 menyebutkan, calon kepala/wakil kepala daerah tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Konflik kepentingan berarti petahana tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana, yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu, kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan. KPU kemudian menafsirkan petahana sebagai kepala/wakil kepala daerah yang sedang menjabat. Ini tertuang dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pencalonan.
Tafsiran petahana
Tafsiran petahana oleh KPU itu telah memunculkan ada sejumlah petahana yang mencoba menyiasati larangan dengan mundur dari jabatannya sebelum masa jabatannya berakhir. Ini semata-mata agar keluarganya bisa maju dalam pilkada.
"Ketika peraturan yang dibuat KPU tidak bisa mencapai tujuan lahirnya pasal larangan politik dinasti, sebaiknya KPU mengkaji ulang penafsiran petahana di PKPU No 9/2015. KPU harus memperluas tafsirnya atas petahana supaya tujuan undang-undang mencegah politik dinasti tetap bisa dicapai. PKPU harus berjalan selaras dengan tujuan undang-undang," ujar Asep.
Sebagai argumentasi hukum, lanjutnya, bisa digunakan putusan uji materi Mahkamah Konstitusi (MK) atas Pasal 58 Huruf o UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, tahun 2009.
Putusan itu menyebutkan, kepala/wakil kepala daerah yang telah menjalani 2,5 tahun atau lebih masa jabatannya dikategorikan sudah menjalani satu periode masa jabatan. Itu bisa saja dimaknai kepala/wakil kepala daerah yang berhenti dari jabatannya setelah menjalani 2,5 tahun atau lebih masa jabatannya tetap disebut sebagai petahana.
Hal ini pun didorong oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Kepala Biro Hukum Widodo Sigit Pudjianto mengatakan, putusan MK itu seharusnya dipertimbangkan oleh KPU saat menafsirkan pengertian petahana di UU Pilkada.
Namun, jika KPU tidak bergerak merevisi pengertian petahana di PKPU No 9/2015, Asep mengatakan, Mendagri harus berani melakukan diskresi dengan menunda mengeluarkan penetapan pemberhentian kepala/wakil kepala daerah. Penundaan setidaknya hingga penetapan pencalonan kepala/wakil kepala daerah di pilkada usai, yaitu 24 Agustus 2015. Dengan cara ini, keluarga petahana tetap tidak bisa maju dalam pilkada.
"Memang sudah menjadi hak kepala/wakil kepala daerah untuk mundur dan tidak ada yang bisa menghalangi. Namun, melihat motif mereka mundur merupakan bentuk penyelundupan hukum, Mendagri bisa bertindak tegas, mengeluarkan diskresi, dengan menunda mundurnya para petahana itu," katanya.
Widodo Sigit Pudjianto mengatakan, hal itu telah dipikirkan Mendagri. Pasalnya, Mendagri pun berpandangan larangan politik dinasti di undang-undang harus ditegakkan. Tidak boleh ada upaya menyiasati aturan di undang-undang.
Opsi lain yang dipikirkan disebutkan Mendagri, Rabu (17/6). Dia mengatakan, penetapan pemberhentian kepala/wakil kepala daerah, yang motifnya agar keluarganya bisa maju dalam pilkada, diputuskan setelah putusan MK terhadap uji materi pasal larangan politik dinasti di undang-undang pilkada.
Selain di tangan KPU dan Mendagri, Asep melanjutkan, partai politik memiliki peran besar supaya larangan politik dinasti di undang-undang tetap bisa ditegakkan. Ini dengan cara melarang keluarga petahana atau mantan petahana yang mundur menjelang pilkada saat partai menjaring calon kepala/wakil kepala daerah yang akan diusung saat pilkada.
"Pasal larangan politik dinasti lahir dari komitmen partai politik di DPR. Pasal itu lahir karena partai pun melihat politik dinasti tidak sehat untuk demokrasi. Kini saatnya menagih komitmen tersebut," katanya.
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/06/19/Tiga-Opsi-Mencegah-Politik-Dinasti-dalam-Pilkada-S