JAKARTA – Dalam sidang pembacaan putusan atas permohonan uji materi Undang-Undang (UU) No 1/1974 tentang Perkawinan, Maria Farida Indrati menyatakan agar peraturan perundang-undangan tersebut direvisi. Itu karena usia UU tersebut sudah 41 tahun.
"Situasi sudah berbeda, undang-undang berumur 41 tahun butuh evaluasi," katanya di gedung MK, Kamis (18/6).
Satu-satunya hakim konstitusi perempuan ini merupakan satu-satunya hakim yang menyatakan bahwa usia perkawinan perempuan harus diubah dari 16 tahun ke 18 tahun. Maria mengungkapkan, perkembangan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia saat ini sudah sangat berbeda dengan situasi kala UU Perkawinan dirumuskan dan disahkan.
UU yang diberlakukan sebelum amendemen pertama UUD 1945 ini dianggap tidak lagi relevan dengan kondisi zaman. Beberapa undang-undang bahkan telah memberikan batasan yang lebih modern dengan penetapan usia anak-anak, yaitu 18 tahun.
Undang-undang itu antara lain UU Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 2/2002 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 44/ 2004 tentang Pornografi, UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, dan UU Nomor 21/2007 tentang Perdagangan Manusia.
"Batasan 16 tahun sudah tak sesuai perkembangan zaman," kata dia.
Dalam sidang ini juga MK memutuskan menolak gugatan perkawinan beda agama. MK berpendapat apa yang telah termaktub dalam Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan tidaklah melanggar konstitusi.
Majelis hakim menilai, perkawinan tidak hanya boleh dilihat dari aspek formal, tapi juga aspek spiritual dan sosial. Dalam pertimbangannya, hakim berpendapat bahwa agama menjadi landasan bagi komunitas, individu, dan mewadahi hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
"Sementara itu negara, menurut hakim, berperan menjamin kepastian hukum serta melindungi pembentukan keluarga yang sah," kata hakim MK, Anwar Usman, saat membacakan pertimbangan putusan.
Apabila menurut para pemohon ada pembatasan terhadap hak warga negara dalam melangsungkan perkawinan lantaran ada norma yang digugat, Anwar mengatakan, sudah seharusnya dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap warga negara wajib tunduk terhadap pembatasan yang telah ditetapkan UU.
"Dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain; serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat," kata Anwar.
Perkara ini dimohonkan oleh Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, dan Anbar Jayadi. Mereka menguji Pasal 2 Ayat 1 UU Perkawinan karena merasa hak-hak konstitusionalnya berpotensi dirugikan dengan berlakunya syarat keabsahan perkawinan menurut hukum agama.
Menurut para pemohon, pengaturan perkawinan sebagaimana yang tercantum dalam aturan tersebut akan berimplikasi pada tidak sahnya perkawinan yang dilakukan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, misalnya nikah beda agama.
Sumber: http://sinarharapan.co/news/read/150619178/mk-uu-perkawinan-harus-direvisi2