Jakarta - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise mengaku sangat kecewa dan menyayangkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan uji materiil UU 1/1974 tentang Perkawinan, khususnya Pasal 7 ayat (1) dan (2). Dalam sidang pembacaan putusan, Kamis (18/6), MK menolak permohonan
pendewasaan usia perkawinan dari 16 tahun menjadi 18 tahun.
“Saya kecewa dengan keputusan MK, karena hal tersebut tidak mendukung upaya tumbuh kembang dan perlindungan anak dalam rangka mempersiapkan generasi penerus bangsa yang handal, yang bisa bersaing di era global,” kata Yohana, di Jakarta, Jumat (19/6).
Menurut Yohana, penetapan batas usia 18 tahun bukan tanpa alasan mengingat konsekuensi perkawinan usia anak terhadap faktor kesehatan, reproduksi, dan pendidikan menjadi alasan yang mendasari usia tersebut sebagai batas kategori status anak. Bahkan, para ahli Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merekomendasikan kepada seluruh anggota untuk menaikkan batas umur minimal seseorang diperbolehkan melangsungkan perkawinan menjadi 18 tahun, baik laki-laki maupun perempuan.
Karena itu, seluruh masyarakat dan para pengambil kebijakan, termasuk MK, diharapkan memiliki pemahaman yang komprehensif terkait urgensi pencegahan perkawinan di usia anak untuk melindungi hak anak-anak Indonesia.
Sebelumnya, dalam sidang di Gedung MK, Kamis (18/6), hakim konstitusi memutuskan untuk menolak permohonan kenaikkan usia perkawinan yang diajukan sekelompok masyarakat tersebut.
“Mahkamah menilai dalil pemohon tidak beralasan, dan menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata hakim konstitusi Arief Hidayat.
Hakim menimbang bahwa kebutuhan batas usia khususnya bagi perempuan disesuaikan dengan banyak aspek, seperti kesehatan, sosial, budaya, dan ekonomi. Bahkan, tidak ada jaminan kenaikkan batas usia kawin bagi perempuan dari 15 menjadi 18 tahun akan mengurangi angka perceraian, menanggulangi permasalahan kesehatan, maupun persoalan sosial lainnya.
Untuk mencegah perkawinan anak yang banyak menimbulkan masalah, menurut MK tidak hanya dengan batasan usia semata. Tidak tertutup kemungkinan, jika didasarkan pada berbagai perkembangan aspek sosial ekonomi, budaya, dan teknologi, usia 18 tahun bisa dianggap lebih rendah atau malah lebih tinggi.
Uji materi Pasal 7 Ayat (1) dan (2) UU Perkawinan ini diajukan oleh Koalisi 18 yang terdiri dari Indri Oktaviani, FR Yohana Tantiana W, Dini Anitasari, Sa'baniah, Hidayatut Thoyyibah, Ramadhaniati, dan Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA).
Pemohon berpendapat, aturan tersebut telah melahirkan banyak praktik perkawinan anak, khususnya anak perempuan sehingga mengakibatkan perampasan hak-hak anak, terutama hak untuk tumbuh dan berkembang. Mereka mengacu pada Pasal 28B dan Pasal 28C Ayat (1) Undang Undang Dasar 1945.
Aturan ini juga dinilai mengancam kesehatan reproduksi dan menimbulkan masalah terkait pendidikan anak. Selain itu, menurut pemohon, adanya pembedaan batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan telah menimbulkan diskriminasi.
Dina Manafe/HS
Sumber: http://www.beritasatu.com/kesehatan/284013-mk-tolak-pendewasaan-usia-kawin-menteri-yohanna-kecewa.html