Mahkamah Konstitusi (MK) akan mengadakan Sidang Pleno pengujian UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) yang diajukan oleh Asmara Nababan, SH., dkk pada tanggal 4 Juli 2006 pukul 10.00 WIB di Ruang Sidang MK Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat.
Pada sidang yang lalu (21/06) Taufik Basari, kuasa hukum para Pemohon, kembali menjelaskan alasan para Pemohon mengajukan judicial review Pasal 27, Pasal 44 dan Pasal 1 ayat (9) UU KKR. Menurut Taufik Pasal 27 UU KKR yang menegaskan bahwa kompensasi dan rehabilitasi baru dapat diberikan apabila pelaku diberikan amnesti tidaklah tepat, karena sangat merugikan korban dimana korban harus menggantungkan hak yang melekat pada dirinya dengan keadaan lain yakni amnesti. Pasal 44 UU KKR menurut Taufik telah menutup hak korban untuk mendapatkan keadilan melalui pengadilan. Pasal 44 ini menyatakan bahwa persoalan yang diselesaikan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak dapat diajukan lagi ke Pengadilan dan dalam penjelasannya dinyatakan bahwa hal ini juga berlaku sebaliknya, kata Taufik.
Sedangkan Pasal 1 ayat (9) UU KKR telah menyebutkan amnesti dikatakan sebagai pengampunan kepada pelaku pelanggaran yang berat oleh Presiden atas persetujuan DPR. Amnesti memang merupakan kewenangan Presiden. Namun menurut hukum internasional amnesti untuk pelaku pelanggaran HAM yang berat tidak diperbolehkan karena itu melanggar prinsip-prinsip hukum. Kejahatan pelanggaran HAM yang berat merupakan kejahatan yang sangat serius yang menempati suatu level yang lebih tinggi dibandingkan kejahatan-kejahatan lainnya, karena itu pelakunya tidak boleh diberikan amnesti, jelas aktivis dari LBH Jakarta ini.
Pada sidang ini para Pemohon menghadirkan saksi Marullah, yang merupakan korban peristiwa Tanjung Priok (1984). Marullah yang saat itu berusia 15 tahun pada saat peristiwa menceritakan pengalaman buruknya mengalami siksaan pasca kejadian. Marullah juga bercerita tentang dirinya saat menjadi saksi dalam sidang pengadilan HAM.
Terkait dengan peristiwa yang dialami saksi, Ahli yang diajukan Pemohon Dr. Tamrin Amal Tomagola menjelaskan dalam kajian sosiologi terdapat dua macam kekerasan, yaitu kekerasan struktural (structural violence) yaitu apabila akses dan kontrol terhadap sumber daya pokok untuk survive ditutup oleh satu pihak. Kalau sudah terjadi kekerasan struktural dan tidak dibenahi, tidak disadari, maka lambat atau cepat akan terjadi kekerasan fisik, sehingga kekerasan fisik adalah sebenarnya produk dari kekerasan struktural, papar Tamrin.
Tapi yang menarik di sini, lanjut Tamrin, dalam masalah gross violation against human rights ini, seperti yang telah diilustrasikan saksi, telah terjadi kekerasan struktural yang dilanjutkan kekerasan fisik dan sesudah kekerasan fisik terjadi akan balik lagi terjadi kekerasan struktural. Kejadian ini, menurut pakar Sosiologi dari UI ini, memang biasanya selalu terjadi antara pihak yang more powerful dengan satu pihak yang less powerful.
Dikaitkan dengan KKR, Tamrin menjelaskan, ada logika yang terbalik dalam KKR, karena yang saling berinteraksi adalah warga negara (rakyat) dan negara (kepala negara, kepala pemerintahan dan aparat negara, yaitu aparat sipil dan aparat militer). Negara bisa tidak memberikan penggantian kepada korban kalau aparat negara yang merupakan anak buah dari kepala negara itu belum diampuni. Itu sama dengan saya, misalnya anak saya salah mengerasi anak tetangga, tapi saya sebagai kepala rumah tangga, kepala keluarga itu bilang, kita tidak akan ganti kerugiannya kalau anak saya ini tidak diampuni dulu, siapa yang mengampuni? Ya, saya, ilustrasi Tamrin.
Asvi Warman Adam, sejarahwan yang diminta para Pemohon untuk menjadi ahli mengungkapkan pendapatnya betapa sangat sulit menggantungkan hak dari korban untuk mendapatkan rehabilitasi dan kompensasi itu tergantung daripada amnesti yang diberikan kepada pelaku. Alasan Asvi antara lain karena pertama, pelaku itu sangat sulit ditemukan karena pelakunya sangat banyak, jadi sangat sulit untuk mengidentifikasi. Kedua, pelaku itu sangat sulit untuk mengaku. Yang mengaku itu paling-paling yang tingkat bawah yang juga ikut, jadi oleh sebab itu saya beranggapan bahwa pasal yang menggantungkan nasib daripada korban kepada adanya amnesti terhadap pelaku, itu sangat tidak adil dan sangat mustahil untuk dilakukan, jelas Asvi.
Alasan ketiga menurut Asvi, kalau korban baru diberikan kompensasi itu, setelah ada amnesti, mungkin akan terjadi kongkalikong, karena korban juga mengharapkan kompensasi, sehingga dia bisa berkompromi dengan pelaku.
Pada kesempatan itu Asvi juga menceritakan alur logika sejarah yang bisa digunakan sebagai alat penindasan. KKR menurutnya adalah salah satu cara untuk menjadikan sejarah kembali sebagai alat pembebas. KKR ini memberikan kesempatan kepada para korban untuk menceritakan apa yang mereka alami, duka mereka. Ini bagian dari healing dan pengobatan. Mereka menceritakan penderitaan mereka seperti sudah diceritakan oleh saksi (Marullah) tadi, bahwa penderitaan itu sudah tidak tertanggungkan lagi. Mungkin menceritakan bisa merupakan suatu obat untuk melupakan pada akhirnya, tetapi paling tidak ini yang dilakukan melalui KKR, ungkap sejarahwan yang pada tahun 2004 lalu menjadi saksi ahli untuk Timor Leste dan ikut menyaksikan proses dari KKR Timor Leste.
Sidang berikutnya (4/7) dengan acara mende mendengarkan keterangan Saksi dan Ahli dari Pemohon. (Luthfi W.E., Mastiur A.P.)