JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi W Eddyono menganggap Mahkamah Agung (MA) lebih tanggap dalam pembatasan pengajuan peninjauan kembali dibanding membuat aturan mengenai hukum acara praperadilan.
"Pertanyaannya, ada apa di MA? Beda respons MA soal praperadilan dan soal pembatasan PK. Padahal kita tahu perlunya ada pedoman dalam masalah hukum acara praperadilan," ujar Supri dalam diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (17/6/2015).
Menurut Supri, sikap MA dalam menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai obyek praperadilan berbeda saat MA menanggapi putusan MK terkait pengajuan peninjauan kembali. (baca: MA Didesak Bentuk Regulasi Baru untuk Praperadilan)
Perbedaan tersebut kemudian menimbulkan tanda tanya mengenai fungsi MA sebagai lembaga tertinggi kehakiman. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014, menetapkan bahwa pengajuan PK hanya boleh dilakukan satu kali.
Dalam hal ini, MA dianggap mengintervensi putusan Mahkamah Konstitusi pada 2013, di mana MK memperbolehkan pengajuan PK lebih dari satu kali, demi alasan keadilan bagi pemohon upaya hukum.
Menurut Supri, inisiatif MA untuk mengeluarkan aturan justru lebih dibutuhkan saat ini. Pascaputusan MK yang memasukan penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan, dibutuhkan suatu pedoman mengenai hukum acara pidana praperadilan bagi hakim.
Tidak adanya regulasi yang dijadikan pedoman oleh hakim menimbulkan gejolak hukum dalam praperadilan. Hakim praperadilan dapat memperluas kewenangannya hingga menyentuh hal-hal yang seharusnya dibahas dalam sidang pokok perkara.
"Perbedaan pandangan hakim mengenai hukum acara praperadilan menimbulkan ketidakpastian hukum. Maka perlu bagi MA untuk membuat aturan yang dijadikan pedoman bagi hakim," kata Supri.
Sementara itu, Hakim Agung Gayus Lumbuun menyebut MA tidak menjalankan undang-undang dalam menyikapi gejolak di masyarakat terkait putusan praperadilan. Gayus berharap MA segera mengeluarkan regulasi yang mengatur hukum acara praperadilan. (baca: Gayus Berharap MA Segera Atur Hukum Acara Praperadilan)
Melihat proses praperadilan belakangan ini, Gayus menilai kekuasaan praperadilan menjadi lebih tinggi dari pokok perkara. Dampaknya, proses penyelidikan sampai penyidikan oleh aparat penegak hukum menjadi sia-sia.