Syarat pengajuan perselisihan perolehan suara dianggap merugikan hak konstitusional para kandidat yang maju dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). Aturan yang tercantum dalam Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) ini digugat oleh Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI) yang diwakili oleh Fadli Nasution dan bakal calon bupati Kabupaten Halmahera Utara atas nama Irfan Soekoenay yang diusung oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sidang perdana perkara yang teregistrasi dengan Nomor 73/PUU-XIII/2015 ini digelar pada Rabu (17/6), di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam kesempatan itu, kuasa hukum Pemohon Virza Roy Hizzal mendalilkan hak konstitusional para Pemohon terlanggar dengan berlakunya Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) UU a quo. Kedua aturan tersebut memberikan pembatasan dengan persentase selisih suara yang begitu ketat. Pemohon menilai ketentuan ini memungkinkan salah satu pasangan calon bekerja sama dengan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) untuk mengukur perolehan suara setiap pasangan calon, sehingga kemenangan yang diperoleh melebihi batas maksimal yang disyaratkan dalam Pasal 158. Akibatnya, tidak ada pasangan calon yang dapat mengajukan permohonan ke MK.
“Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 a quo, telah menghalangi hak konstitusional seorang untuk menggunakan sarana pengadilan. Bahwa penyelesaian perselisihan di pengadilan tidak memerlukan kuantitas berdasarkan angka-angka tertentu sebagai syarat diajukannya gugatan atau permohonan. Pasal 158 a quo telah menghalangi hak konstitusional seseorang untuk menggunakan sarana pengadilan,” jelasnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Aswanto tersebut.
Ia menyebut jika aturan tersebut dipertahankan maka kewenangan yang ada pada KPUD untuk memutus hasil perolehan suara yang bersifat final and binding tersebut membuka ruang adanya praktik-praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme. Hal ini akan menimbulkan terjadinya pengaturan angka hasil perolehan suara dan terjadinya negosiasi antara KPUD dengan peserta Pilkada. Untuk itulah, para Pemohon meminta kedua norma ini dibatalkan. “Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian undang-undang para Pemohon. Menyatakan Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilukada bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” terangnya.
Saran Perbaikan
Terkait permohonan tersebut, Majelis Hakim memberikan saran perbaikan. Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menyarankan agar Pemohon memperbaiki kedudukan hukumnya. Menurutnya, Pemohon yang berasal dari Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI) harus menguraikan kerugiannya sebagai badan hukum dengan berlakunya kedua pasal tersebut. “Badan hukum ini apakah benar dia mengalami kerugian hak konstitusional, itu dinilai tersendiri lagi,” jelasnya.
Sementara Hakim Konstitusi Aswanto meminta Pemohon memperhatikan norma dalam UUD 1945 yang dijadikan batu uji. Ia menuturkan ada ketidakterkaitan norma yang dijadikan batu uji dengan kerugian konstitusional yang dialami pemohon. “Tadi Yang Mulia sudah mengatakan ‘Apa hubungannya dengan pasal penyiksaan?’, karena pasal-pasal yang ada di dalam Undang-Undang Dasar yang Saudara jadikan sebagai landasan pengujian itu juga nanti harus dikaitkan dengan dalil Saudara tentang kerugian yang dialami atau potensial oleh itu harus dikonkritkan,” terangnya.
Oleh karena itu, Pemohon diberi waktu selama 14 hari kerja untuk memperbaiki permohonan. Sidang berikutnya mengagendakan pemeriksaan perbaikan permohonan. (Lulu Anjarsari)