Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) Mahkamah Konstitusi (MK) menghadiri bimbingan teknis (Bimtek) pengendalian gratifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bimtek tersebut diisi oleh Pegawai Direktorat Gratifikasi Deputi Pencegahan KPK.
Dalam kesempatan tersebut, salah satu narasumber Ichsani Fahrudin menjelaskan tugas UPG antara lain menerima laporan gratifikasi, memproses laporan gratifikasi dan rekapitulasi laporan gratifikasi yang telah diterima MK, serta koordinasi dan konsultasi dengan KPK. “Unit Pengendalian Gratifikasi adalah pihak yang menjadi salah satu jembatan komunikasi KPK dengan stakeholders di kementerian lembaga atau instansi pemerintah lainnya,” ujar Ichsani di Gedung MK, Jakarta, Rabu (17/6).
Selain itu, Unit Pengendalian Gratifikasi juga bertugas untuk melakukan sosialisasi dan diseminasi aturan. Tugas ini, imbuh Ichsani, menjadi salah satu faktor sukses pengendalian gratifikasi. “Sosialisasi dan diseminasi harus dilakukan berkala dengan pendekatan yang tentunya berbeda-beda antar kementerian lembaga,” cetusnya.
Ia pun mengatakan KPK menjadi fasilitator untuk optimalisasi pengendalian gratifikasi di MK. KPK, lanjut Ichsani, bertugas membimbing dua belas anggota UPG MK agar mampu mampu mendorong para pegawai MK untuk melaporkan pemberian yang diterima dalam bentuk apapun.
“Saat seorang pegawai negeri atau pejabat menerima sesuatu yang berkaitan dengan kedinasan, misalnya plakat atau seminar kit, itu seharusnya wajib dilaporkan. Penerimaan gratifikasi kedinasan sebenarnya bukan ditujukan pada individu melainkan pada instansi maka instansi berhak mengetahui apa saja yang diterima,” paparnya.
Ia melanjutkan, sistem pelaporan tersebut juga untuk membudayakan pelaporan terhadap sesuatu yang diterima pegawai terkait dengan jabatan sehingga terjadi transparansi di dalam lembaga. “Harapannya terbentuk budaya declare, budaya transparan, budaya itulah yang nanti dielaborasi ke dalam sistem di MK,” imbuhnya.
Menurut Ichsani, UPG perlu memiliki strategi-strategi untuk membangun budaya tersebut. Pasalnya, pegawai kerap enggan melaporkan gratifikasi karena sama saja melaporkan dirinya sendiri yang akan membawa pegawai tersebut ke ranah hukum. Padahal, dalam Pasal 12 C UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penerima tidak akan terlibat tindak pidana apabila melaporkan gratifikasi yang diterimanya ke KPK paling lambat 30 hari.
Lebih lanjut, Ichsani mengatakan banyak pihak yang menganggap laporan gratifikasi sama halnya dengan laporan pelapor tindak pidana (whistleblower). Ia menjelaskan, sebenarnya laporan gratifikasi berbeda dengan laporan whistleblower.
“Whistleblower mengetahui ada tindak pidana yang dilakukan di satu tempat, lalu melapor. Sedangkan laporan gratifikasi adalah self assessment pegawai negeri atau penyelenggaran negara saat menerima sesuatu yang berkaitan dengan jabatannya. Dia tau ini melanggar maka dia melaporkan ke Unit Pengendali Gratifikasi,” jelasnya.
Sebelumnya, MK dan KPK telah menggelar rapat koordinasi pengendalian gratifikasi. KPK juga telah melakukan sosialisasi terkait gratifikasi kepada para pegawai MK. (Lulu Hanifah)