Sebanyak 70 mahasiswa dan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta bertandang ke Mahkamah Konstitusi (MK). Maksud dari kunjungan adalah untuk memperdalam ilmu hukum, khususnya tentang MK guna penyelesaian tugas akhir mahasiswa.
Kunjungan tersebut disambut oleh Peneliti MK Irfan Nur Rachman di Aula Lantai Dasar Gedung MK. Mengawali pemaparannya, Irfan mengatakan ibarat bayi, MK adalah bayi yang lahir pada tahun 2003 namun langsung disuruh berlari. “Sejak kelahirannya MK dituntut untuk segera menyesuaikan diri dengan kondisi ketatanegaraan saat itu, yang cenderung karut marut,” ujarnya, Senin (15/6).
MK lahir pada perubahan ketiga amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945). Sebelum perubahan UUD 1945, imbuh Irfan, Indonesia menganut sistem supremasi parlemen. Posisi parlemen, dalam hal ini Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), diletakkan pada posisi tertinggi (supreme). Dari MPR, kekuasaan kemudian dibagikan kepada lembaga-lembaga negara lain, di antaranya Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA). “Pada masa itu, sistem pemerintahan seperti demikian dianggap suatu kekeliruan atau tidak tepat. Lalu disadari konstitusi yang dilahirkan pada 1945 telah membawa cacat yuridis,” imbuhnya .
Dalam sidang BPUPKI, Bung Karno menyatakan beberapa kali bahwa UUD yang dibuat saat itu bersifat sementara, hal itu juga diamini Soepomo. Irfan menegaskan banyak sekali kelemahan yang ada di sana, Indonesia yang menganut sistem presidensial, tapi dalam UUD 1945 bercampur aduk antara presidensiil dan parlementer. “Akhirnya sistem tata negara kita ambigu,” katanya.
Keambiguan konstitusi terlihat pada UUD 1945 sebelum perubahan yang menyatakan kekuasaan membentuk undang-undang merupakan kekuasaan Presiden. Kemudian diubah menjadi kekuasaan membentuk undang-undang dikembalikan ke DPR. Ambiguitas lain adalah masa jabatan Presiden, sebelum UUD diamandemen, tidak ada periodisasi masa jabatan Presiden sehingga Presiden dipilih untuk masa jabatan 5 tahun dan bisa dipilih kembali 5 tahun berikutnya dan seterusnya. Imbasnya, UUD 1945 berpotensi melahirkan rezim otoriter karena begitu besar kekuasaan Presiden dalam mengelola negara.
“Komposisi MPR terdiri dari utusan daerah, golongan, TNI, Polri, yang semua dipilih Presiden, hal ini membuat presiden menjadi institusi yang memiliki kewenangan luar biasa. Ini tidak baik dalam sistem demokrasi. Ini salah satu yang melatarbelakangi perubahan UUD 1945,” jelasnya.
Itulah yang menjadi dasar pengubahan UUD 1945 yang pada masa itu dianggap sakral. Agar proses pengubahan Konstitusi tidak liar, dibuat batasan yang disepakati para pengubah UUD. Batasan itu adalah tidak mengubah pembukaan karena pembukaan merupakan ruh dari UUD 1945. Kedua, mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan dibingkai Pancasila. Ketiga, memasukan hal normatif dalam penjelasan pasal-pasal UUD 1945 menjadi pasal-pasal. Keempat, sistem perubahan dilakukan dengan cara adendum. Terakhir, sepakat untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensiil.
Perubahan UUD 1945 yang menjadi landasan lahirnya MK telah membawa implikasi hukum terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia.” Semula kita menganut supremasi parlemen, beralih ke supremasi konstitusi. Dari Konstitusi kekuasaan dibagi-bagi. Perubahan tersebut tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945,” sambung Irfan.
Implikasi dari ketentuan tersebut membuat seluruh lembaga negara berkedudukan sederajat. Lembaga sederajat ini berpotensi bersengketa karena kedudukannya sama. Sehingga MK memiliki kewenangan, salah satunya adalah memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan konstitusi, di samping menguji UU terhadap UUD 1945, membubarkan partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. (Lulu Hanifah)