Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang mengajukan gugatan terhadap ketentuan penjualan saham bank gagal menghadirkan Saldi Isra sebagai ahli pada sidang yang digelar Kamis (11/6). Selain menghadirkan ahli, Pemohon juga menghadirkan saksi yang mengungkapkan adanya ketidakpastian hukum akibat ketidakjelasan terkait kewenangan LPS untuk menjual seluruh saham bank gagal. Adapun pasal yang diujikan secara materiil dalam perkara nomor 53/PUU-XIII/2015 ini yaitu:
Pasal 30 ayat (1):
LPS wajib menjual seluruh saham bank yang diselamatkan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
Pasal 38 ayat (1):
LPS wajib menjual seluruh saham bank dalam penanganan paling lama 3 (tiga) tahun sejak penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a.
Pasal 42 ayat (1):
LPS wajib menjual seluruh saham bank dalam penanganan paling lama 3 (tiga) tahun sejak dimulainya penanganan Bank Gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39.
Mengawali penjelasannya, Saldi Isra yang merupakan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas menyampaikan pentingnya kepastian hukum bagi LPS sebagai lembaga yang berfungsi memelihara stabilitas sistem perbankan. Kepastian hukum terutama dibutuhkan bagi LPS dalam menjual saham bank milik LPS maupun milik masyarakat yang membeli saham di pasar modal. Menurutnya, kepastian hukum bagi LPS tentu saja dapat dicapai dengan putusan MK.
Saldi menjelaskan, kewenangan LPS yang dimuat dalam Pasal 30 ayat (1), Pasal 38 ayat (1) dan Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (UU LPS) selaiknya dikaitkan dengan amanat yang dibebankan kepada LPS. Dalam UU LPS dinyatakan penjualan saham bank gagal harus mempertimbangkan tingkat pengembalian yang optimal. Bila dikaitkan dengan tingkat pengembalian dimaksud, maka sudah sewajarnya bila frasa “seluruh saham” dalam ketiga pasal tersebut dimaknai sebagai semua saham, baik milik LPS maupun milik masyarakat, termasuk masyarakat umum yang membeli saham di pasar modal.
“Karena hanya dengan penjualan secara keseluruhan, kemungkinan pengembalian optimal dapat dipenuhi,” ujar Saldi.
Saldi kemudian memberikan pandangannya terhadap frasa “seluruh saham” dalam ketiga pasal yang digugat LPS. Salah satunya dengan pendekatan tekstual. Saldi menjelaskan bahwa bila frasa “seluruh saham” dalam ketiga pasal tersebut diartikan tidak termasuk saham di luar LPS, maka dari teknis penulisan norma hukum, UU LPS seharusnya mencantumkannya secara eksplisit. Namun setelah memeriksa seluruh pasal dalam UU LPS, Saldi tidak menemukan satu pun ketentuan yang mengecualikan itu. Bahkan, dalam bagian penjelasan juga tidak ditemukan keterangan apa pun mengenai makna frasa “seluruh saham” dalam ketiga pasal tersebut. Padahal, bagian penjelasan berfungsi memberikan pemakaian lebih lanjut terhadap bagian tertentu, dari pasal dan/atau ayat dalam sebuah undang-undang.
Ditilik dari pendekatan sistematis, Saldi melihat bahwa Pasal 35 dan 36 UU LPS dapat memberi petunjuk bahwa frasa "seluruh saham" dapat diartikan saham yang dapat dijual oleh LPS termasuk pula saham masyarakat yang dibeli di pasar modal. Hal ini dapat terlihat jika satu bank bernilai positif diserahkan kepada LPS untuk dilakukan penyelamatan, maka hasil penjualan saham bank digunakan untuk mengembalikan seluruh biaya penyelamatan yang telah dikeluarkan. Selain itu, saham juga dikembalikan pada pemegang saham lama/masyarakat sebesar ekuitas bank pada saat penyerahan kepada LPS. Bila masih ada sisa, saham hasil penjualan dibagi secara proporsional bagi LPS dan pemegang saham lama.
“Dengan demikian, dalam konteks pendekatan sistematis, artinya frasa seluruh saham sebagaimana termaktub dalam pasal yang dimintakan pengujian, yaitu Pasal 30 ayat (1), Pasal 38 ayat (1), Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang LPS adalah seluruh saham bank, baik yang milik LPS maupun milik pemegang saham lama atau masyarakat. Logika sederhananya, kalau sahamnya tidak jadi bagian yang harus dijual, tentu dia tidak akan dapat pembagian dari proses penjualan itu. Jadi dia dapat bagian dari proses penjualan itu karena sahamnya juga menjadi bagian dari yang dijual,” urai Saldi.
Praktik Penjualan Saham
Sementara, salah seorang saksi yang dihadirkan LPS yaitu Danu Febrianto mengaku pernah terlibat dalam proses penjualan saham bank gagal yang diselamatkan LPS yakni saham PT Bank Mutiara Tbk (dulu Bank Century). Sesuai Keputusan Kepala Eksekutif LPS Nomor 18 Tahun 2014, Danu dijadikan koordinataor bidang tata kelola (governance) dan hukum dalam kepanitiaan penjualan saham PT Bank Mutiara. Danu bertugas mengkaji bersama dengan konsultan hukum terhadap dokumen atau perjanjian dalam proses penjualan saham.
Danu mengungkapkan, saat Ia beserta panitia lainnya mempersiapkan proses penjualan saham Bank Mutiara, pemahaman yang panitia pakai terhadap frasa “seluruh saham” adalah seluruh saham milik LPS dan milik pemegang saham lama.
“Pada saat itu kami berpandangan bahwa tidak logis apabila kata-kata seluruh saham dimaknai hanya saham milik LPS saja. Karena hasil penjualan saham tersebut tidak mutlak seluruhnya menjadi milik LPS, tetapi ada kemungkinan pihak lain, dalam hal ini pemegang saham lama, untuk mendapatkan hasil penjualan saham tersebut,” ungkap Danu.
Meski demikian, Danu juga mengungkapkan bahwa perbedaan penafsiran terkait kewenangan LPS dalam menjual seluruh saham bank gagal menyebabkan LPS kesulitan ketika menjual saham. Pada saat menjual saham Bank Mutiara misalnya, panitia penjualan saham harus membuat kesepakatan terlebih dulu. Menurutnya, perbedaan penafsiran dan pemaknaan atas kata-kata “seluruh saham” dan wewenang LPS, menimbulkan ketidakpastian hukum bagi LPS dalam proses penjualan saham. (Yusti Nurul Agustin)