Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (11/6) di Ruang Sidang Pleno MK. Lima pekerja tercatat sebagai pemohon perkara dengan Nomor 68/PUU-XIII/2015 tersebut. Kelimanya mempermasalahkan UU PPHI karena tidak memberikan kewenangan kepada mediator atau konsiliator untuk menerbitkan risalah penyelesaian perselisihan yang dilakukan melalui mediasi atau konsiliasi.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon menguji Pasal 13 ayat (2) huruf a dan Pasal 23 ayat (2) huruf a UU PPHI.
Pasal 13 ayat (2) huruf a menyatakan:
“Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis”.
Sedangkan Pasal 23 ayat (2) huruf a menyatakan:
“Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, maka konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis”.
Pemohon yang diwakili oleh Iskandar Zulkarnaen selaku kuasa hukumnya, menjelaskan bahwa dalam UU PPHI, jika terjadi perselisihan hubungan industrial, maka para Pemohon harus menyelesaikan perselisihannya melalui musyawarah bipartit, mediasi, konsiliasi, arbitrase, dan melalui Pengadilan Hubungan Industrial. Pengadilan Hubungan Industrial hanya dapat diselenggarakan apabila dilampirkan risalah penyelesaian mediasi dan konsiliasi sebagaimana ketentuan Pasal 83 ayat (1) UU a quo. Namun menurutnya, Pasal 13 ayat (2) huruf a dan Pasal 23 ayat (2) huruf a UU a quo hanya memberikan kewenangan kepada mediator atau konsiliator untuk membuat anjuran.
“Konsep alternatif penyelesaian sengketa melalui mediasi dan konsiliasi yang diatur dalam Undang-Undang PPHI, faktanya tidak menimbulkan mediasi yang memfasilitasi para pihak yang bersengketa untuk dapat berunding, karena pegawai mediator menjadi figur sentral yang diberikan kewenangan untuk membuat anjuran yang seolah-olah kuasi putusan vonis hakim dan terkesan hanya menjadi tiket untuk mengajukan gugatan ke PHI, padahal pada ranah hukum mediasi tidak mengenal anjuran,” jelas Iskandar di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati tersebut.
Lebih lanjut, Pemohon menilai seharusnya UU PPHI menegaskan pemberian wewenang kepada pihak yang diinginkannya dalam rangka melaksanakan undang-undang. Akan tetapi, lanjutnya, UU PPHI justru tidak mengatur mengenai kewenangan mediator atau konsiliator untuk menerbitkan risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi yang merupakan syarat formil untuk mengajukan surat gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
“Dengan tidak dilampirinya risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi dalam pengajuan surat gugatan, berakibat hakim PHI menjatuhkan amar putusan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima,” terangnya.
Hal ini menyebabkan Pemohon meminta agar sepanjang frasa “anjuran” dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a dan Pasal 23 ayat (2) huruf a UU PPHI bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi/konsiliasi, maka mediator/konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis sebagai bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi/konsiliasi.”
“Berdasarkan seluruh uraian tersebut, Para Pemohon memohon kiranya Mahkamah Konstitusi berkenaan memutus, mengabulkan permohonan Para Pemohon, menyatakan frasa anjuran dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a dan Pasal 23 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” urainya.
Saran Perbaikan
Terhadap permohonan tersebut, Maria Farida memberikan nasihat perbaikan kepada Pemohon. Menurutnya, alasan permohonan tidak terkait dengan masalah konstitusionalitas norma. “Mahkamah Konstitusi itu tidak mengadili suatu perkara konkrit tapi norma yang ada pada undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar,” tegasnya.
Pemohon diberi waktu 14 hari kerja untuk melakukan perbaikan. Sidang berikutnya mengagendakan pemeriksaan perbaikan permohonan. (Lulu Anjarsari)