Jakarta, HanTer - Maraknya gugatan praperadilan yang mayoritas dilayangkan para tersangka (TSK) kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang disertai beberapa kekalahan praperadilan yang menimpa lembaga antirasuah tersebut, Komisi III DPR mendesak Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) soal pembatasan gugatan praperadilan sambil menunggu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di revisi oleh DPR dan pemerintah.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar (FPG), Adies Kadir mengatakan, MA sebagai lembaga tertinggi yang menangani hukum di Indonesia harus segera mengambil langkah-langkah agar masyarakat dan praktisi hukum tidak bingung dengan caranya mengeluarkan Perma tentang batasan-batasan praradilan seperti apa yang bisa di lakukan upaya hukum luar biasa atau Peninjauan Kembali (PK).
"Maksutnya disini Perma tersebut hanya mengatur aturan main atau regulasinya saja tentang praradilan untuk kasus-kasus ektra ordinary crime (kejahatan luas biasa), bukan masuk kepada indenpendensi hakim dalam memutus perkara," kata Adies Kadir saat dihubungi, Kamis (11/6/2015).
Apabila MA tidak mau mengeluarkan PERMA-nya, lanjutnya, Presiden dapat mengambil alih dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) seperti Perppu pimpinan KPK. "Karena masalah praperadilan ini sekarang cukup meresahkan masyarakat pencari keadilan dan praktisi hukum sebagai pelakunya," ungkapnya.
Menurutnya, paska putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014, ada dampak positif dan negatifnya. Dampak positifnya adalah penegak hukum Polri, Kejaksaan, KPK harus lebih cermat dan berhati-hati dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Sedangkan, dampak negatifnya akan berbondong-bondong orang menggugat prapradilan untuk jalur pintas dari pada mengikuti sidang pokok perkara.
"Kemudian dengan adanya putusan prapradilan yang mengalahkan KPK dengan pertimbangan hakim yang berbeda-beda akan semakin membingungkan masyarakat pencari keadilan dan praktisi hukum," jelasnya.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR ini menegaskan, khusus kasus-kasus extraordinary crime harus dibatasi. Karena, biarkan di uji pada pokok perkaranya saja, sedangkan kasus-kasus pidana umum biasa masih diperbolehkan mengajukan gugatan praperadilan. "Tapi kembali lagi, para penegak hukum harus cermat dan berhati-hati dalam menetapkan tersangka agar apabila di uji pokok perkaranya penegak hukum dapat mempertanggung jawabkannya," tegasnya.
Senada, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Masnur Marzuki mengatakan, MA mengeluarkan Perma soal pembatasan gugatan praperadilan yang ditunggu-tunggu oleh semua pihak. Sebab, institusi peradilan dan hakim bukan semata menegakkan hukum atau corong hukum. "Ia harus menjelma juga sebagai pembuat hukum demi keadilan," kata Masnur Marzuki.
Menurutnya, apabila MA tidak membatasi gugatan praperadilan maka pada akhirnya semua bergerak pada wilayah tafsir masing-masing. Padahal, praperadilan pada dasarnya adalah penegakan formal justice yang tidak boleh disepelekan begitu saja.
Selain itu, lanjutnya, Perma tersebut merupakan antisipasi membanjirnya gugatan praperadilan sebelum hal itu dapat diatur dalam KUHAP.
"Praperadilan perlu diberikan kejelasan soal batas-batas apa saja yang bisa diajukan praperadilan. Maka yang paling urgen adalah penyempurnaan dalam KUHAP," ujarnya.
Masalahnya, kata Masnur, RUU KUHAP tak kunjung dituntaskan DPR dan presiden. Padahal MK sudah banyak buat putusan berkaitan dengan hukum acara. Maka dari itu, yang paling urgen adalah segera mengesahkan RUU KUHAP agar tidak ada lagi tafsir berbeda-beda soal praperadilan ini," tegasnya.
Dia memaparkan, hal-hal apa saja yang perlu diatur dan di revisi dalam RUU KUHAP. Pertama, apakah penetapan tersangka oleh KPK itu bisa jadi objek praperadilan, padahal KPK tak mengenal adanya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). "Benturan hukum seperti ini yang harus dituntaskan dalam RUU KUHAP," katanya.
Kedua, soal upaya hukum lanjutan dari putusan praperadilan itu juga harus diperjelas dan dinormakan dalam RUU KUHAP. Dia mencontohkan, dalam kasus Budi Gunawan (BG). Kenapa KPK justru terkesan membarter upaya hukum dengan Polri? Kenapa pada kasus BG ini KPK tak lakukan perlawanan hukum? Kenapa pada Hadi Purnomo KPK lakukan perlawanan hukum?. "Hal-hal seperti ini tak boleh terulang," pungkasnya.
(Robbi)
Sumber: http://nasional.harianterbit.com/nasional/2015/06/11/31806/25/25/DPR-Desak-Gugatan-Praperadilan-Dibatasi