JAKARTA – Salah satu usulan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Migas adalah perubahan bentuk dari SKK Migas. Lembaga yang dipimpin Amien Sunaryadi itu akan dijadikan BUMN Khusus. Namun, rencana itu justru dinilai sebagai langkah mundur pengelolaan migas Indonesia.
Dalam sebuah diskusi di DPR, Andang Bachtiar yang menjadi wakil Dewan Energi Nasional (DEN) menyebut usulan BUMN khusus agak aneh. Sebab, pemerintah justru bereksperimen lagi dalam penataan migas. Padahal, saat ini Indonesia butuh tata kelola migas yang lebih konstitusional. ''Kenapa tidak kembali ke Pertamina?'' tanya dia.
Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) membubarkan BP Migas karena tidak konstitusional. Lantas, BP Migas berganti “baju” menjadi SKK Migas sampai saat ini. Padahal, Andang menilai Pertamina saat ini butuh penguatan.
Kalau urusan pengelolaan migas diserahkan kepada Pertamina, dia yakin BUMN energi itu bisa mengalahkan national oil company (NOC) Malaysia, Petronas Carigali, dari sisi produksi. Petronas, lanjut Andang, saat ini memproduksi 1,1 juta barel per hari (bph). Sedangkan Pertamina hanya sekitar 500an ribu bph.
''Tetapi, kalau KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) kontraknya langsung dengan Pertamina bukan SKK Migas, produksi bisa jadi 1,6 juta bph,'' terangnya.
Pria yang menjadi ketua Komite Eskplorasi itu mengetahui ada yang tidak mau memberikan banyak kekuasaan pada Pertamina. Alasannya, rentan diselewengkan dan menjadi sarang koruptor. Tapi, itu bisa diatasi dengan sistem politik dan hukum yang lebih baik. Memang, ketika Orde Baru berkuasa, Pertamina sempat sangat kuat dan menjadi sarang koruptor. Lantas kewenangan itu dipreteli dengan UU Migas 22/2001. Tetapi, praktiknya justru melahirkan lembaga inkonstitusional.
Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menambahkan, kekhawatiran itu bisa diminimalisasi. Apalagi, pemerintah saat ini mengaku sedang giat-giatnya melakukan pemberantasan korupsi. ''Sistem lebih kembali dengan dulu. Untuk subjeknya, kita tagih ke Presiden Jokowi yang sedang memberantas korupsi,'' katanya.
Sistem lama yang dimaksud adalah UU 8/1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara. Dalam aturan itu, Pertamina memiliki peran selain sebagai pengatur juga pelaksana usaha migas di Indonesia. Konsekuensinya, kekuasaan dan otoritas yang dimiliki oleh Pertamina sangat besar.
Supaya Pertamina tidak kebablasan, UU 8/1971 perlu disempurnakan. Tetapi, akar dari aturan migas yang baru nanti tetap berasal dari UU tersebut. Marwan menyebutkan, dominasi perusahaan BUMN harus tetap ada. Bahkan kalau perlu, Pertamina bisa langsung di bawah Presiden. ''Sistem dan pelaku usaha menjadi sama-sama lebih baik,'' terangnya.
Begitu juga soal rencana membentuk agregator migas. Marwan menegaskan itu tidak perlu karena Pertamina bisa melakukannya dengan baik. Dia tidak mau kejadian operasi bisnis SPBU asing yang hanya berada di kota besar kembali terulang. Hal seperti itu disebutnya mengambil jatah Pertamina.
Tim Reformasi Tata Kelola Migas (RTKM) mendukung pendirian BUMN khusus karena rentan rugi. Seperti diketahui, bisnis di sektor upstream penuh risiko. Tapi, versi Marwan, potensi kerugian justru lebih besar dialami BUMN khusus karena tidak mampu menjalankan bisnis.
''Itu terjadi pada BP Migas atau SKK Migas yang mentransfer aset cadangan terbukti dimonetisasi asing,'' urainya. Selain itu, membangun BUMN khusus juga butuh organisasi, sumber daya manusia, infrastruktur, sampai pembiayaan. Itu tidak efisien dan lebih baik jika diserahkan ke Pertamina yang sudah kuat.
Anggota Komisi VII DPR Kurtubi menambahkan, UU Migas perlu menjadi lex specialis. Jangan lagi membentuk lembaga yang ruwet dan ribet. dengan kondisi Indonesia saat ini, lanjut dia, butuh memotong mata rantai aturan agar investasi bisa lebih cepat. ''Saya tidak setuju SKK Migas diubah jadi BUMN khusus. Sistem jadi makin ribet,'' terangnya.
Dia sepakat kalau UU Migas perlu kembali ke UU 8/1971 dengan perbaikan. Rencana membentuk BUMN khusus perlu dibuang jauh-jauh karena butuh modal besar dengan hasil tidak maksimal. ''Apa pengalaman mereka? Mana lapangan minyaknya? Pom bensinnya? Kilang? Butuh waktu lama untuk adaptasi, investor kabur,'' tegasnya.
Sekadar informasi, RUU Migas saat ini masih digodok dengan target selesai tahun ini. Pemerintah saat ini sudah punya draf yang siap dibedah. Inisiatif untuk merumuskan RUU memang berada di tingkat DPR, tetapi pemerintah juga wajib merumuskan masukan dalam RUU. (dim/fal)