Mahkamah Konstitusi menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) terhadap UUD 1945. Pengujian tersebut dimohonkan oleh Ike Farida, seorang warga negara Indonesia yang bersuamikan warga negara Jepang.
Pemohon menguji ketentuan Pasal 21 ayat (1), ayat (3), Pasal 36 ayat (1) UU Pokok Agraria dan Pasal 29 ayat (1), Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan:
Pasal 21 ayat (1) UU Pokok Agraria
Hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.
Pasal 21 ayat (3) UU Pokok Agraria
Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga-negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu didalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.
Pasal 36 ayat (1) UU Pokok Agraria
Yang dapat mempunyai hak guna bangunan ialah: a. warga negara Indonesia; b. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan
Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan
Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
Menurut Pemohon, norma-norma tersebut telah menghilangkan haknya untuk memperoleh Hak Milik dan Hak Guna Bangunan. Sebab, perjanjian pembelian apartemen yang dilakukan Pemohon dibatalkan sepihak oleh pengembang lantaran suami Pemohon adalah warga negara asing (WNA) dan Pemohon tidak mempunyai perjanjian perkawinan. Pemohon melanjutkan, penolakan pembelian oleh pengembang tersebut dikuatkan oleh penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang intinya menyatakan pembatalan surat pesanan sebagai akibat tidak terpenuhinya syarat objektif sahnya suatu perjanjian, yaitu pelanggaran Pasal 36 ayat (1) UU Pokok Agraria.
“Dapat disimpulkan hak Pemohon untuk memiliki rumah susun musnah oleh berlakunya pasal-pasal dalam UU Pokok Agraria dan UU Perkawinan tersebut,” ujarnya pada sidang Perkara Nomor 69/PUU/XIII/2015 di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis (11/6).
Oleh karena itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta MK untuk menyatakan frasa warga negara Indonesia pada Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1) UU Pokok Agraria bertentangan dengan Konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai warga negara Indonesia tunggal tanpa terkecuali.
Selain itu, Pemohon juga meminta MK menyatakan frasa pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan dan seterusnya pada Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Terakhir, dalam petitumnya Pemohon meminta MK menyatakan frasa harta bersama dalam Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan konstitusi sepanjang tidak dimaknai sebagai hak untuk menuntut.
Menanggapi permohonan tersebut, majelis hakim yang diketuai Wakil Ketua MK Anwar Usman meminta Pemohon untuk lebih menekankan diskriminasi yang dialami ketika norma yang diujikan diterapkan. “Kasus konkret tadi hanya pintu masuk ya untuk bisa dikatakan bahwa pasal-pasal yang Saudara uji inkonstitusional,” ujarnya.
Sementara Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams meminta Pemohon untuk memperbaiki format penulisan dan petitumnya. “Di petitum 1 itu cukup mengabulkan saja, enggak usah pakai menerima. Kalau mengabulkan, ya berarti juga menerima,” tuturnya. (Lulu Hanifah)