Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang dimohonkan Wakil Ketua KPK non aktif, Bambang Widjojanto. Pada sidang PUU Nomor 40/PUU-XIII/2015 yang digelar Rabu (10/6), Pemohon menghadirkan dua orang ahli yang merupakan guru besar di bidang hukum, yaitu Saldi Isra dan Eddy O.S. Hiariej. Menurut kedua ahli, Pasal 32 UU KPK telah bertentangan dengan Konstitusi karena melanggar prinsip kepastian hukum. Seharusnya, pasal tersebut diberikan batasan dan tafsir konstitusional.
Di hadapan pleno hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman, Saldi Isra mendapat kesempatan terlebih dulu untuk menyampaikan keahliannya. Saldi menyampaikan upaya pelemahan terhadap KPK sudah diprediksinya sejak awal tahun 2015. Saldi melihat kiprah KPK selama 12 tahun ini sudah dapat menyentuh pejabat-pejabat penting yang melakukan korupsi. Oleh karena itu, wajar bila upaya pelemahan terhadap KPK semakin menjadi.
Salah satu upaya pelemahan KPK juga terlihat pada ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU KPK yang digugat oleh Bambang Widjojanto selaku Pemohon perkara ini. Lewat ketentuan tersebut, pimpinan KPK diberhentikan lewat proses hukum yang seolah-olah dilakukan dengan benar. “Sebagai penegak hukum, sangat mungkin penyidik menggunakan ruang yang tersedia dalam Pasal 32 ayat (2) tersebut untuk melumpuhkan KPK dan menetapkan pimpinannya sebagai tersangka dengan tindak pidana sekalipun tindakan tersebut amat sumir. Dengan jalannya itu saja, Pimpinan KPK harus sudah berhenti sementara dari jabatannya begitu ditetapkan sebagai tersangka,” jelas Saldi.
Saldi pun sepakat dengan Pemohon yang mendalilkan ketentuan a quo bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Saldi menguraikan sebab terjadinya pelanggaran terhadap hak konstitusional Pemohon oleh ketentuan dalam Pasal 32 ayat (2) UU KPK. Menurut Saldi, bila Pasal 32 ayat (2) UU KPK dirumuskan tanpa ada batasan kategori tindak pidana kejahatan apa saja yang dapat dijadikan syarat pemberhentian sementara pimpinan KPK, maka akan berpotensi terjadi kriminalisasi terhadap pimpinan KPK dalam rangka melaksanakan tugas pemberantasan korupsi.
Sebenarnya, Saldi melihat semangat dalam ketentuan a quo sangatlah baik dalam menjaga citra KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi. Hanya saja, ketentuan tersebut menyimpan bom waktu yang dapat meledakkan kerja-kerja besar KPK. “Bom waktu itu akan menjadi aktif saat langkah pemberantasan korupsi diarahkan pada lembaga penegak hukum. Dengan kewenangan penyidikkan yang dimiliki kepolisian sebagai penegak hukum misalnya, ketentuan tersebut potensial dimanfaatkan untuk mengganggu KPK. Caranya sederhana, dengan alasan hukum yang sangat mungkin dicari-cari, menetapkan Pimpinan KPK sebagai sebagai tersangka,” ungkap Saldi tanpa ragu.
Dengan menyadari kelemahan yang terkandung dalam Pasal 32 ayat (2) UU KPK, Saldi yang merupakan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas itu menegaskan bahwa tidak ada pilihan lain selain membatalkan ketentuan tersebut. Selain membatalkan, Saldi menerangkan sebaiknya ketentuan pemberhentian sementara pimpinan KPK yang terlibat tindak pidana harus diberi penafsiran dan batasan makna maupun ruang lingkup jenis tindak pidana kejahatan dimaksud. Menurutnya, hal tersebut perlu dilakukan oleh MK untuk menyelamatkan agenda pemberantasan korupsi di masa mendatang.
Terburu-Buru
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Eddy OS Hiariej, menyampaikan tujuan hukum pidana sejatinya untuk melindungi kepentingan individu dari kesewenang-wenangan negara dan juga bertujuan melindungi masyarakat dari kejahatan. Sedangkan fungsi hukum pidana untuk melindungi kepentingan hukum dan juga memberikan keabsahan bagi negara dalam rangka menjalankan fungsi kepentingan hukum dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang.
Terkait dengan itu, Hiariej menjelaskan bahwa penegakan hukum pidana tidak boleh menghilangkan kehidupan, kebebasan, dan hak-hak dari para tersangka. Namun, perlindungan hukum justru tidak diperoleh oleh Pemohon akibat berlakunya Pasal 32 UU KPK. Selain itu, Hiariej juga menilai ketentuan tersebut bersifat diskriminatif.
Pendapat tersebut dilontarkan Hiariej karena ia melihat penetapan tersangka kepada Pemohon hanya berdasarkan bukti permulaan. Penetapan tersangka terhadap Pemohon menurut ahli dilakukan dengan terburu-buru agar Pemohon sesegera mungkin diajukan ke pengadilan dan tidak lolos dari jerat hukum. Dalam dunia hukum pidana, hal yang terjadi pada Pemohon dikenal dengan istilah sunrise principle.
Praktik sunrise principle menyebabkan diabaikannya jaminan kepastian hukum bagi Pemohon. Sebab, sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum mengikat, Pemohon tetap berstatus tersangka. Bila dikaitkan dengan Pasal 32 UU KPK, maka Pemohon yang sudah berstatus tersangka harus diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai pimpinan KPK.
“Apabila seseorang dinyatakan sebagai tersangka, harus diberhentikan dari jabatannya, selain melanggar asas praduga tidak bersalah juga mengekang hak asasi manusia yang dijunjung tinggi dalam due process of law. Konsekuensi lebih lanjut, jaminan terhadap kepastian hukum diabaikan. Terlebih jika penetapan tersangka itu dilakukan atas dugaan suatu tindak pidana yang terjadi sebelum orang tersebut memegang suatu jabatan publik, in casu a quo, orang tersebut disangkakan melakukan suatu tindak pidana yang terjadi sebelum yang bersangkutan menjabat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi,” papar Hiariej.
Dalam kesimpulannya, Hiariej menyampaikan Pasal 32 UU KPK harus dibatalkan dan dinyatakan tidak berlaku kecuali ditafsirkan terbatas. Penafsiran yang disarankan olehnya yaitu agar tindak pidana yang dimaksud dalam pasal a quo adalah tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, tindak pidana narkotika, dan tindak pidana pelanggaran berhak asasi manusia, serta tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara, atau tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 10 tahun ke atas. (Yusti Nurul Agustin)