UU Pelayaran Digugat, Perlu Aturan Peralihan Saham Asing pada Perusahaan Pelayaran Nasional
Rabu, 10 Juni 2015
| 14:35 WIB
Ilustrasi suasana sidang MK (ANTARA)
JAKARTA, GRESNEWS.COM - Ketentuan divestasi atau peralihan kepemilikan saham milik asing lebih dari 50persen dalam perusahaan pelayaran nasional perlu diatur secara tegas dalam Undang-Undang Pelayaran. Tanpa ada aturan tersebut, pemegang saham asing berpotensi mengartikan saham yang dipegangnya tidak perlu dialihkan. Akibatnya, perusahaan pelayaran nasional dan lokal sulit berkembang karena harus bersaing dengan perusahaan yang memiliki saham asing dengan modal besar.
Permasalahan ini digugat oleh Ucok Samuel Bonaparte Hutapea dalam uji materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (UU Pelayaran). Ucok menggugat pasal 158 ayat (2) huruf c UU Pelayaran. Pasal tersebut berisi ketentuan kapal milik badan hukum Indonesia yang merupakan usaha patungan, mayoritas sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia.
Dalam sidang pendahuluan, Ucok yang mengaku berniat mendirikan perusahaan di bidang pelayaran merasa berpotensi dirugikan atas pasal yang digugat. Ia menceritakan dalam industri pelayaran dikenal asas cabotage sesuai Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2005 bahwa kapal yang melakukan pengangkutan di Indonesia harus berbendera Indonesia dan diawaki awak kapal berkebangsaan Indonesia.
Persoalan yang terdapat dalam UU Pelayaran, UU yang disahkan pada 2008 ini hanya mengatur kewajiban kepemilikan mayoritas saham kapal badan hukum Indonesia harus dipegang warga negara Indonesia. Sementara, sebelum adanya UU tersebut, banyak kapal nasional yang mayoritas sahamnya dimiliki asing. Sehingga UU tersebut tidak mengatur ketentuan peralihan yang mewajibkan pemegang saham asing pada perusahaan pelayaran nasional untuk melakukan divestasi saham yang dimilikinya.
"Kalau tidak dibatasi, maka negara lain yang lebih maju dengan kemampuan modal yang lebih besar akan menguasai prospek bisnis dalam industri tersebut. Setelah ada UU Pelayaran dengan redaksi demikian, komposisi saham harus mengikuti aturan UU tersebut yaitu mayoritas harus nasional. Sehingga minimal 51 persen dimiliki lokal. Tapi UU tersebut tidak berikan aturan peralihan setelah UU tersebut disahkan," ujar Ucok dalam sidang pengujian UU Pelayaran di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (9/6).
Menurutnya, tidak adanya aturan peralihan tersebut bisa diinterpretasikan pemegang saham asing yang memiliki kepemilikan lebih dari 50 persen bahwa mereka tidak wajib melakukan divestasi. Akibatnya masih banyak perusahaan pelayaran yang mayoritas sahamnya dimiliki warga negara asing atau badan hukum asing. Persoalan ini bisa membuat perusahaan pelayaran nasional sulit bersaing dengan perusahaan asing.
Selanjutnya, persoalan ini juga dianggap berpotensi pelaku usaha berkewarganegaraan Indonesua enggan masuk ke dalam usaha pelayaran. Sebab khawatir akan kalah bersaing dengan perusahaan pelayaran yang mayoritas sahamnya dimiliki asing lantaran tidak imbangnya modal pelaku usaha pemilik kapal nasional. Menurutnya hal ini jelas bertentangan dengan prinsip cabotage.
Menurutnya pasal ini telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil seperti dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sehingga ia meminta mahkamah agar memaknai frasa dalam pasal yang digugat harus menyesuaikan komposisi saham sesuai UU Pelayaran paling lambat tiga tahun sejak UU ini disahkan.
Menanggapi permohonan ini, Hakim panel Wahiduddin Adams mengatakan asas cabotage memang menjadi semacam ruh dari UU Pelayaran ini. Sehingga dengan asas ini, Indonesia menunjukkan sebagai negara yang berdaulat dan dapat mewujudkan prinsip wawasan nusantara serta angkutan laut bisa mendapatkan pangsa muatan yang luas.
"Ayat (2) huruf c UU Pelayaran adalah penjabaran dari ayat (2). Kalau ditambahkan sesuai petitum pemohon terkait peralihan, ini seolah-olah menjadi ada tambahan ayat tersendiri," ujar Wahiduddin pada kesempatan yang sama.
Ia menambahkan dalam petitum pemohon juga disebutkan agar komposisi kepemilikan saham disesuaikan sejak UU Pelayaran ini berlaku. UU ini berlaku sejak 2008, kalau dihitung tiga tahun maka 2011 harusnya diberlakukan. Sementara tahunnya sudah lewat dan dianggap tidak relevan. Ia memperkirakan maksud pemohon bukan tiga tahun sejak diundangkan, tapi berlaku surut.
Reporter : Lilis Khalisotussurur
Redaktur : Muhammad Fasabeni
Sumber: http://www.gresnews.com/berita/hukum/00106-uu-pelayaran-digugat-perlu-aturan-peralihan-saham-asing-pada-perusahaan-pelayaran-nasional/