Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU Agraria) kembali diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana perkara yang teregistrasi dengan nomor perkara 66/PUU-XIII/2015 ini digelar pada Selasa (9/6). Perkara ini dimohonkan oleh Budiyono, seorang warga Surabaya yang menganggap tanah tempat tinggalnya diklaim oleh PT. Makarti. Pemohon juga menggugat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK).
Gugatan ini bermula dari tanah yang sudah ditinggali puluhan tahun oleh keluarga pemohon diklaim oleh PT. Makarti. Menurut Budiyono, sengketa kepemilikan tanah ini telah selesai sampai tingkat Pengadilan Tinggi Surabaya. Namun, putusan pengadilan memenangkan PT. Makarti dikarenakan pemohon tidak dapat membuktikan surat-surat pembayaran pajak atas tanah miliknya. Terhadap putusan Pengadilan Tinggi Surabaya tersebut, pada 2009, Pemohon mengajukan peninjauan kembali (PK) sebagai upaya hukum lanjutan, tetapi putusan PK ternyata justru menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Surabaya. Atas penolakan PK tersebut, Pemohon yang bermaksud mengajukan PK untuk kedua kali, merasa terhalangi oleh Pasal 66 ayat (1) dan Pasal 67 UU MA. Meskipun pada tahun 2010 dan 2011 Pemohon telah menemukan bukti-bukti pendukung baru.
“Dalam undang-undang tersebut tidak dijelaskan bagaimana pembuktian untuk hak milik. Sehingga Majelis Hakim Mahkamah Agung dan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi itu menafsirkan tentang hak milik utamanya tentang pembuktiannya menurut Undang-Undang itu ada beberapa yang salah. Utamanya tentang letter c desa. Letter c desa yang kami ajukan sebagai novum atau bukti di situ bahwa letter c desa secara hukum adat cuma tidak saya uraikan di situ mengenai hukum adatnya itu merupakan alat pembuktian hak milik seseorang atas tanah dan digunakan oleh BPN yang sekarang kantor agraria itu dijadikan dasar untuk pembuatan akta tanah,” jelasnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Selain itu, pemohon juga merasa dirugikan oleh Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 28 UU Agraria. Menurutnya, UU tersebut tidak mampu memberikan perlindungan terhadap hak milik keluarga yang menurut penilaian pemohon telah diambil sewenang-wenang oleh PT. Makarti melalui putusan pengadilan yang tidak adil sehingga menyebabkan Pemohon kehilangan hak waris atas tanah. Sementara terkait dengan upaya uji materi yang dilakukannya, Pemohon pun menguji Pasal 10 UU MK. Pemohon beranggapan bahwa kewenangan MK perlu ditambah satu ayat lagi untuk memberikan kewenangan kepada MK menguji putusan pengadilan yang mengimplementasikan UU.
Oleh karena itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Pasal 66 ayat (1) UU MA dimaknai tidak dikecualikan terhadap alasan-alasan ditemukan yang terdapat pada Pasal 67. “Menyatakan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana diubah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 sebagaimana perubahan kedua Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 selengkapnya berbunyi ’permohonan peninjauan kembali dapat diajukan lebih dari 1 (satu) kali’,” terangnya.
Saran Perbaikan
Majelis Hakim menyarankan pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Anwar Usman menjelaskan agar pemohon menyesuaikan permohonannya sesuai dengan format permohonan MK. “Ya, atau lebih baik nanti lihat contoh permohonan yang sudah diperbaiki, apalagi ada permohonan yang permohonannya dikabulkan, ya, bisa dilihat di Kepaniteraan,” jelasnya.
Sementara, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menerangkan bahwa permohonan tidak terkait dengan konstitusionalitas norma. Maria menyarankan agar pemohon mempertajam alasan permohonannya terkait uji konstitusionalitas norma. Ia pun menekankan bahwa kewenangan MK adalah menguji UU terhadap UUD 1945.
“Mahkamah Konstitusi itu menguji suatu norma dalam undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, sehingga kalau kita melihat di sini, maka di sini tidak ada penjelasan yang jelas apa permasalahannya sehingga pasal yang diujikan itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Misalnya Bapak mengatakan Pasal 66 dan Pasal 67 bertentangan dengan konstitusi. Pasal berapa? Alasannya apa? Jadi harus dikatakan bahwa ini kalau kemudian PK itu hanya boleh satu kali bertentangannya dengan pasal yang mana dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, alasannya apa,” sarannya.
Untuk itulah, Majelis Hakim memberikan waktu selama 14 hari kerja untuk melakukan perbaikan permohonan. Sidang berikutnya beragendakan memeriksa perbaikan permohonan. (Lulu Anjarsari)