Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen). Perkara yang teregistrasi nomor 65/PUU-XIII/2015 tersebut diajukan oleh tiga orang warga negara atas nama Samuel Bonaparte, Ridha Sjartina, dan Satrio Laskoro. Para Pemohon menguji ketentuan Pasal 4 huruf c dan Pasal 7 huruf a UU Perlindungan Konsumen yang berbunyi:
Pasal 4 huruf c:
“Hak Konsumen adalah: c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ atau jasa.”
Pasal 7 huruf a:
“Kewajiban Pelaku Usaha adalah: a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.”
Samuel sebagai Pemohon I menyatakan Pasal 4 huruf c terkait hak para konsumen tidak mencantumkan hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang benar dan lengkap atas nama badan hukum dan domisili badan hukum dari produk barang dan atau jasa yang dibeli. Sama halnya dengan Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen produsen yang tidak mewajibkan pelaku usaha untuk mencantumkan nama badan hukum dan domisili yang bertanggung jawab atas produk dan atau jasa yang dijualnya.
“Sebagai contoh, apabila naik pesawat atau kita ke rumah sakit, kita tidak tahu nama badan hukumnya, kita tidak tahu siapa yang bertanggung jawab atas produk barang dan atau jasanya. Apabila ada kerugian, apabila ada sengketa, seorang konsumen akan sangat sulit untuk melakukan gugatan,” jelasnya pada sidang perdana yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo di ruang sidang MK, Jakarta, Selasa (9/6).
Samuel sendiri mengalami kerugian konkret ketika terjadi malpraktik terhadap anaknya pada suatu rumah sakit. Namun, dalam persidangan, pihak rumah sakit menggunakan eksepsi error in persona karena adanya badan hukum yang berbeda sebagai penanggung jawab kesalahan tersebut. Akan tetapi, ia tidak pernah mengetahui badan hukum mana yang dimaksud.
Selain itu, para Pemohon beranggapan Pasal 7 huruf a UU Perlindungan Konsumen tidak menyatakan secara tegas itikad baik seperti apa yang harus dilakukan oleh pelaku usaha termasuk dalam hal penyantuman/pengumuman nama badan hukum yang bertanggung jawab atas barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau dijual. Pasal ini hanya menyebutkan kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dalam melakukan usahanya tanpa diberikannya indikator itikad baik sehingga tidak memberikan kepastian hukum bagi konsumen.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 4 huruf c dan Pasal 7 huruf a UU Perlindungan Konsumen bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak dimaknai frasa “termasuk hak atas informasi atas nama dan domisili lengkap badan usaha yang bertanggung jawab terhadap barang/ atau jasa yang diproduksi dan/ atau dijual”.
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim menyarankan para permohon untuk mengelaborasi kerugian konstitusional yang dialami dari adanya norma yang diujikan. “Ini permohonan perseorangan menurut hemat kami cocok karena namanya konsumen. Tapi potensial kerugian untuk Pemohon II dan Pemohon III harus dielaborasi juga dong,” ujar Hakim Konstitusi Patrialis Akbar
Patrialis juga menyarankan pemohon untuk menjelaskan masalah-masalah konkret yang menyebabkan kerugian konstitusional yang dialami, sehingga UU Perlindungan konsumen dianggap tidak memberikan perlindungan untuk seseorang bisa menuntut. (Lulu Hanifah)