Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2015 (UU APBN 2015) diuji secara materiil pada Senin (6/8) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perkara dengan nomor 63/PUU-XIII/2015 ini diajukan oleh H. Sungkono dkk yang merupakan korban Lumpur Sidoarjo yang berasal dari unsur badan usaha dan perorangan yang memiliki tanah dan bangunan yang berada di dalam Peta Area Terdampak (PAT).
Dalam pokok permohonannya, Pemohon yang diwakili Mustofa Abidin selaku kuasa hukum, merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan Pasal 23B ayat (1), (2), dan (3) UU APBN Tahun 2015. Pasal 23B ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU a quo :
(1) Untuk melakukan pelunasan pembayaran kepada masyarakat yang memiliki tanah dan bangunan di dalam peta area terdampak lumpur Sidoarjo dialokasikan dana sebesar Rp. 781.688.212.000,00 (tujuh 3 ratus delapan puluh satu miliar enam ratus delapan puluh delapan juta dua ratus dua belas ribu rupiah).
(2) Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dana antisipasi yang digunakan untuk melunasi pembelian tanah dan bangunan yang terkena luapan lumpur siduarjo dalam peta area terdampak yang menjadi tanggung jawab PT. Lapindo Brantas Inc./ PT Minarak Lapindo Jaya.
(3) Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan dalam hal PT. Lapindo Brantas Inc./PT. Minarak Lapindo Jaya tidak dapat membayar pelunasan pembelian atas tanah dan bangunan yang terdapat dalam peta area terdampak berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Para pemohon menilai Pasal 23B ayat (1) uu a quo, telah memposisikan dan mengkategorikan kedudukan hukum dari para Pemohon lebih rendah dibandingkan korban Lumpur Sidoarjo dari unsur rumah tangga. Hal ini karena Pasal 23B ayat (1) yang menempatkan alokasi dana sebesar Rp. 781.688.212.000,00 hanya mempunyai tujuan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap korban lumpur dari unsur rumah tangga saja, tidak termasuk unsur badan usaha. Padahal, lanjutnya, baik tanah dan bangunan milik para Pemohon maupun tanah dan bangunan milik korban dari unsur rumah tangga sama-sama terletak di dalam Peta Area Terdampak (PAT) yang jumlah luasan tanah di dalam PAT tersebut seluas 671 Ha.
“Para Pemohon mengajukan permohonan ini karena alokasi dana APBN yang diatur dalam undang-undang a quo yang dalam salah satu normanya mempunyai fungsi dan tujuan memberikan alokasi dana talangan untuk pembayaran dan pelunasan hak milik para korban lumpur di dalam PAT (Peta Area Terdampak), sebagaimana termaktub dalam Pasal 23B ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)ternyata tidak memasukkan nilai tanah dan bangunan milik Para Pemohon yang masuk dalam luasan 620 hektar yang dikenal sebagai wilayah di dalam PAT,” terangnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo tersebut.
Kemudian, para Pemohon menilai Pasal 23B ayat (1) UU a quo telah menciptakan dikotomi perlakuan hukum terhadap sesama korban lumpur Sidoarjo yaitu antara para Pemohon dengan korban dari unsur rumah tangga. Hal ini menjadikan ketentuan a quo bertentangan dengan Pasal 27 UUD 1945 yang memberikan jaminan atas kedudukan yang sama bagi setiap warga negara di dalam hukum dan pemerintahan.
“Faktanya, namun faktanya dalam pembentukan norma yang tertuang dalam Pasal 23B Undang-Undang a quo, hak-hak Para Pemohon dieliminasi sedemikian rupa tanpa alasan dan tanpa keterangan dari negara. Sebelum dilakukan pengesahan atau pada saat proses pembentukan norma tersebut, Para Pemohon ini telah berjuang menemui semua pihak yang mempunyai wewenang untuk membentuk rumusan norma tersebut dan sekaligus membawa data atas kepemilikan tanah dan bangunan dari Para Pemohon,” jelasnya.
Oleh karena itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta MK untuk menyatakan bahwa pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak mengakui dan memasukan nilai tanah dan bangunan milik korban Lumpur Sidoarjo yang berada di dalam PAT secara keseluruhan baik korban dari unsur rumah tangga maupun korban dari unsur pelaku usaha. “Mengabulkan seluruh permohonan Para Pemohon. Menyatakan bahwa Pasal 23B ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 tentang APBN Tahun 2015 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, sepanjang tidak mengakui dan memasukkan nilai tanah dan bangunan milik korban lumpur Sidoharjo yang berada di dalam petak area terdampak secara keseluruhan, baik korban dari unsur rumah tangga maupun korban dari unsur pelaku usaha, sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 83/PUU-XII/2013,” pintanya.
Saran Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang juga terdiri dari Hakim Konstitusi Aswanto dan Manahan MP Sitompul memberikan saran perbaikan kepada pemohon. Aswanto menegaskan bahwa MK hanya mempunyai wewenang untuk menguji konstitusionalitas norma, bukan masalah faktual. Untuk itulah, pemohon diharapkan mengelaborasi kerugian yang dialami dengan kerugian konstitusional akibat belakunya norma a quo.
“Pertama yang mungkin harus dilebih fokus lagi bahwa sebenarnya Mahkamah Konstitusi tidak menguji sesuatu yang bukan kerugian konstitusional. Nah, oleh sebab itu, menurut saya perlu ada elaborasi yang lebih konkret untuk menunjukkan atau meyakinkan Majelis, meyakinkan Panel bahwa memang apa yang dialami oleh masyarakat, terutama yang Saudara sampaikan adalah yang petak area terkait, terdampak, ya. Petak area terdampak. Itu sebenarnya kerugiannya, memang kerugiannya materiil, tetapi sebenarnya harus dielaborasi bahwa itu adalah bagian dari kerugian konstitusional,” sarannya.
Sementara itu, Ketua Panel Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta agar pemohon membandingkan dengan putusan MK yang terkait pengujian UU serupa. Selain itu, ia meminta agar masalah kedudukan hukum juga diperbaiki. Perbaikan ini harus dilakukan selama 14 hari, sebelum akan digelar sidang kedua beragendakan sidang perbaikan permohonan. (Lulu Anjarsari)