Lima orang warga Surabaya mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU Agraria) ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan tersebut diajukan karena tanah sejumlah warga Surabaya yang sudah ditinggali puluhan tahun diklaim Pemerintah Kota Surabaya.
Diwakili Muhammad Sholeh selaku kuasa hukum, Pemohon mengaku rumah yang ditempatinya diklaim Pemerintah Surabaya sebagai tanah milik pemerintah kota. Sebab, Pemohon dan puluhan ribu warga lainnya tidak memiliki sertifikat hak milik dan hanya memiliki surat sewa yang disebut surat hijau . “Pada tahun 1970-an, warga Surabaya itu diminta untuk menyerahkan surat tanahnya dengan dalih akan dinaikkan menjadi sertifikat. Tetapi yang keluar bukan sertifikat hak milik tetapi surat hijau tadi,” ujarnya dalam sidang perkara nomor 62/PUU-XIII/2015 di ruang sidang MK, Jakarta, Senin (8/6).
Menurut Sholeh, dari 31 kecamatan, sekitar 26 kecamatan penduduknya hanya memiliki surat hijau. Dengan kata lain, sepertiga dari wilayah Kota Surabaya diklaim merupakan tanah Pemerintah Kota dan warga yang tinggal di wilayah tersebut harus membayar sewa. Ia menjelaskan, warga setempat telah mengajukan gugatan ke pengadilan namun tidak pernah menang, baik itu tingkat pertama, kedua, maupun Mahkamah Agung. Mereka mengajukan ke Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pemohon dan warga Surabaya lain juga sempat berjuang di jalur politik melalui DPRD Surabaya dan Pemkot, namun keduanya selalu mendasarkan bahwa tanah tersebut adalah aset daerah. Pemohon pun mengupayakan ke Badan Pertanahan Nasional, tetapi kembali tak ditanggapi. ”Pemohon selalu ditolak oleh BPN dengan dalih bahwa itu adalah asetnya pemkot, tapi ketika diminta menunjukkan sertifikatnya, BPN pun tidak pernah mengiyakan,” jelasnya.
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK memberi tafsir Konstitusi terhadap Pasal 7, Pasal 9, dan Pasal 17 UU Agraria agar menjadi kepastian hak milik tanah dan bangunan warga setempat. Pemohon meminta norma-norma tersebut konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai bahwa tanah yang dimiliki oleh badan hukum pemerintah daerah hanya meliputi tanah yang digunakan oleh instansi pemerintah daerah.
Adapun Pasal 7 UU Agraria menyatakan:
“Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.”
Pasal 9 ayat (2) UU Agraria menyatakan:
“Tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.”
Pasal 17 ayat (1) UU Agraria menyatakan:
“Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam Pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.”
Kasus Konkret
Menanggapi permohonan, Majelis Hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Patrialis Akbar, didampingi Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dan Manahan M.P. Sitompul menyatakan permohonan yang diujikan merupakan kasus konkret dan bukan pengujian norma undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Selain itu, Majelis Hakim meminta pemohon menjelaskan maksud dalil Pemohon yang menyatakan Pemerintah Kota Surabaya mengklaim tanah-tanah di Surabaya karena tanah a quo bekas milik pemerintah Belanda, faktanya tanah-tanah warga yang dimiliki warga sejak zaman penjajahan juga diklaim menjadi milik Pemerintah Surabaya.
“Di sini mohon dijelaskan, maksudnya apa? Bahwa ada dua macam tanah dan dua macam tanah itu diklaim oleh pemerintah kota, dan itu didukung oleh beberapa peraturan ini, gitu ya? mohon diperbaiki,” ujar Hakim Konstitusi Maria.
Majelis Hakim juga meminta pemohon memperbaiki petitumnya karena beberapa petitum akan membuat MK menjadi positive legislator karena mengubah norma undang-undang, sedangkan MK adalah negative legislator. (Lulu Hanifah)