Sidang perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) - Perkara No. 58 dan 60 PUU-XIII/2015 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (8/6) siang.
Pemohon Prinsipal Perkara No. 58, Mohammad Ibnu dari Tim Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Mata Hati menyampaikan sejumlah perbaikan permohonan kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.
“Pertama, kami memperinci dan mempertegas lagi mengenai legal standing, apa yang menjadi kerugian-kerugian konstitusional Pemohon. Kita berpikir bahwa masyarakat sebagai pemberi mandat, sedangkan calon kepala daerah itu sebagai penerima mandat. Kalau si penerima mandat tidak bisa melakukan uji materi ke MK, secara otomatis merugikan kami sebagai pemilih,” urai Mohammad Ibnu.
Perbaikan berikutnya, Pemohon menghapus uji formil, tidak mau UU No. 8 Tahun 2015 dihapuskan secara keseluruhan. “Yang ingin kita hapuskan hanya Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada. Karena ada perubahan uji formil itu, otomatis berimplikasi dengan perubahan petitum. Jadi petitum tentang permohonan uji formilnya kita hapus,” ucap Mohammad Ibnu.
Sementara itu Pemohon Perkara No. 60 melalui salah seorang kuasa hukumnya, Unoto menjelaskan beberapa perbaikan permohonan. Misalnya memperbaiki kedudukan hukum Pemohon yang semula lebih konsentrasi pada M. Fadjroel Rachman selaku Pemohon menjadi atas nama organisasi Gerakan Nasional Calon Independen.
Selain itu, Pemohon memperbaiki permohonan yang berkaitan dengan runtutan sejarah mengenai calon independen serta perbaikan mengenai kesetaraan antara calon perseorangan dan calon dari parpol mengenai syarat prosentasenya.
Seperti diketahui, Pemohon Perkara No. 58, Mohammad Ibnu mendalilkan bahwa secara formil UU Pilkada bertentangan dengan Pasal 5 huruf e dan Pasal 6 ayat (1) huruf g UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang justru merupakan wujud dari degradasi pemenuhan hak hukum dan pencabutan hak konstitusional warga negara karena tidak benar-benar dibutuhkan dan tidak bermanfaat, serta tidak dapat memberikan keadilan yang proporsional.
Hal itu dapat dilihat dari ketentuan pasal a quo mengatur pengajuan permohonan sengketa pemilihan kepala daerah ke Mahkamah Konstitusi terbatas pada selisih suara pemilih yang tidak melebihi dari 2%, 1,5%, dan 0,5% baik untuk pemilihan gubernur maupun bupati/walikota sesuai dengan aturan jumlah penduduk di wilayah pemilihan tersebut.
Menurut Pemohon, bila ada calon tertentu yang telah dipilih rakyat seharusnya menang dalam Pemilu, kemudian menjadi tidak terpilih karena adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh calon lainnya dengan selisih perolehan jumlah suara yang cukup lebar. Sehingga pemilihan kepala daerah yang merupakan sarana untuk rakyat agar terlibat dalam pembentukan penyelenggaraan pemerintahan menjadi tidak terwujud dan dapat menimbulkan pelanggaran terhadap hak dan kehendak rakyat dalam menentukan kepala daerah yang dipercaya mewakili rakyat.
Selain itu, menurut Pemohon, Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 karena bertentangan dengan prinsip dasar negara hukum yakni prinsip supremasi hukum, prinsip kesetaraan di hadapan hukum dan prinsip penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum.
Sedangkan Pemohon Perkara No. 60, M. Fadjroel Rachman pada sidang pendahuluan mendalilkan bahwa uji materi yang diajukan mereka dimaksudkan untuk mengikuti dan berpatisipasi melalui jalur independen dalam Pemilukada di daerah Kalimantan Selatan. Pemohon mendalilkan, persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon kepala daerah dari jalur independen sebagaimana tercantum dalam Pasal 41 UU No. 8 Tahun 2015 bersifat diskriminatif, terjadi dalam penentuan jumlah besarnya prosentase dan jumlah bilangan pembagi.
Jumlah prosentase dukungan yang harus diperoleh oleh calon kepala daerah dari jalur independen naik sebesar 3.5% dari ketentuan yang terdapat dalam ketentuan undang-undang sebelumnya yakni Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. (Nano Tresna Arfana)