Wajah praperadilan di Indonesia berubah. Bila sebelumnya praperadilan diatur secara limitatif di Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kini ada beberapa hal yang dimasukan oleh para hakim sebagai objek praperadilan. Yang teranyar adalah penetapan tersangka sebagai objek praperadilan dalam kasus Budi Gunawan, yang kemudian “diamini” oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Lalu, bagaimana para dosen hukum acara pidana (HAPID) mengajarkan praperadilan yang sudah berubah drastis ini ke mahasiswa fakultas hukum?
Tiga dosen hukum acara pidana dari kampus berbeda yang dihubungi hukumonline, terkesan tidak setuju dengan perubahan ini, tetapi toh mereka terpaksa mengajarkannya ke para mahasiswa.
Seorang dosen hukum acara pidana dari salah satu fakultas hukum ternama di Indonesia bahkan tak segan mengaku malas mengikuti perkembangan yang ada karena praperadilan sudah dinilai semakin kacau dan keluar jalur. “Maaf, saya tidak mengikuti lagi perkembangan terakhir ini. Malas mengamatinya,” ujarnya ketika dimintai komentarnya.
Sama halnya dengan Agustinus Pohan. Dosen Fakultas Hukum Universitas Parahyangan (FH Unpar) ini juga menyampaikan pandangan pribadinya yang tak sejalan dengan perluasan objek praperadilan saat ini. Pria yang mengampu mata kuliah “hukum acara pidana” ini pun harus memutar otak ketika menyampaikan materi kuliah, khususnya mengenai praperadilan.
Agustinus mengatakan juga tak ingin memaksa mahasiswanya untuk sejalan dengan pemikirannya terkait praperadilan. “Jadi, saya mempersilahkan mahasiswa untuk menilai pemikiran mana yang menurut mereka lebih tepat. Karena saya tidak ingin memaksakan pendapat saya sebagai kebenaran,” ujar Agustinus melalui sambungan telepon, Jumat (5/6).
Lewat pemikirannya, lanjut Agustinus, mahasiswa yang diajar olehnya diharapkan tidak tersesat dalam memahami hukum acara pidana, khususnya terkait Praperadilan. “Saya tidak mau mahasiswa saya tersesat,” harap Agustinus.
Sebab, Agustinus menganggap ada pemahaman yang tidak komprehensif dari putusan Hakim serta Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai perluasan objek Praperadilan. “Kita masih menghormati, itu sebagai putusan pengadilan, di situ ada putusan Mahkamah Konstitusi, mungkin juga tujuannya baik, tetapi menurut saya tidak komprehensif,” paparnya.
“Saya coba lepaskan itu dari sisi subjektifitas. Tapi bagaimana kepentingan korbannya?” sambungnya.
Menurutnya, selain tidak memaksa mahasiswa menyetujui pemikirannya, sebagai dosen dirinya perlu memberikan argumen-argumen yang baik serta komprehensif. Bahkan, Agustinus menambah sesi di kelas selama satu hari untuk membahas secara khusus mengenai praperadilan ini. “Jadi satu hari membicarakan khusus mengenai polemik yang ada di masyarakat berkaitan dengan putusan itu (Praperadilan,-red). Itu hanya di kelas saya saja, hanya sesi dikelas saja,” tegas Agustinus.
Pengajar Hukum Acara Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti (FH Usakti) Abdul Fickar Hadjar juga tak sependapat dengan perluasan objek praperadilan yang memasukan penetapan tersangka sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Ia berpendapat MK telah melebihi kewenangannya dengan menambahkan norma baru ke dalam Pasal 77 KUHAP.
“Putusan MK yang memberikan perluasan, sebenarnya juga berlebihan MK, karena itu norma baru sebenarnya. Mestinya dia kan menafsir negatif, bukan menambah norma sebenarnya. Yang terjadi kan menafsirkan dan menambah norma,” papar Fickar saat dihubungi hukumonline, Jumat (5/6).
Namun, Fickar mengaku tetap harus mengajarkan kepada mahasiswa hukum positif yang berlaku. Ia memiliki cara mengajar dengan memaparkan proses-proses praperadilan mulai dari sebelum dan pasca putusan MK. Ia mengatakan bahwa meski dirinya tak setuju dengan isi putusan MK, tetapi itu harus disikapi sebagai hukum yang berlaku di dalam masyarakat.
“Dalam penyampaiannya, saya menjelaskannya soal-soal yang seperti itu saja. Artinya dalam realitas hukum acara, ini menjadi satu realitas yang menjadi ius contitutum, hukum yang berlaku, jadinya,” pungkas pria yang juga tercatat sebagai kuasa hukum Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) non aktif Bambang Widjojanto ini.
Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5571a56a11d1e/strategi-dosen-hapid-ajarkan-praperadilan-ke-mahasiswa