Jakarta - Menurut Penasihat Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi), Harry Tjan Silalahi, dunia pendidikan diterapkan dalam pluralisme. Karena bangsa Indonesia menjadi suatu keniscayaan yang tidak pernah lepas dengan plural dan kemajemukan.
Namun, dalam pendidikan khususnya swasta sudah 10 tahun diabaikan oleh pemerintah. Hanya 20 persen peran serta pemerintah terlibat. Masih tidak tepat sasaran karena perubahan yang terlihat hanya pada bangunan.
Pergantian menteri dari periode ke periode tidak fokus membicarakan sesuatu untuk membangun mutu swasta yang memiliki peran penting dalam dunia pendidkan dari sebelum Indonesia merdeka.
Harry mengungkapkan, peran swasta telah lahir sejak berdirinya perguruan Taman Siswa oleh Ki Hajar Dewantara. Namun, perintah tetap tidak mengedepankan peran swasta. Hal tersebut terbukti dengan adanya gugatan yang terjadi pada Mahkamah Konstitusi tentang Undang-Undang Pendidikan yang meniadakan peranan swasta.
“Saya salah satu yang terlibat dalam gugatan MK tentang peran serta pendidikan swasta yang masih belum diakui,” kata Harry ketika menjadi pembicara dalam Seminar Pendidikan Nasional tentang "Warisan dan Kondisi Awal Pendidikan Indonesia", di Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis (4/6).
Konsep pendidikan yang berpusat pada revolusi mental, menurut Harry, sampai sejauh ini belum terlihat. Konsep revolusi mental sebenarnya menjadi jawaban untuk tulisan dari karya Mocthar Lubis tentang hal-hal rentan dengan kebiasaan bangsa Indonesia yang harus diubah atau revolusi mental.
Harry mengatakan, dalam pendidikan, aspek yang perlu diperhatikan adalah budi pekerti yang saat ini telah luntur karena tidak mendapat perhatian. Sehingga sangat sulit untuk menemukan orang yang sopan dalam masyarakat.
Dia menegaskan, pendidikan sudah dirumuskan dalam undang-undang untuk mencerdaskan bangsa bukan orang per orang. Namun, undang-undang menjadi kehilangan roh setelah diamendemen selama empat kali dan jiwa gotong royong yang ditanamkan oleh Soekarno tidak tampak.
Menurutnya, undang-undang tersebut perlu diuji kembali. Mulai dari penjelasan tentang undang-undang, karena sistem yang dibangun tidak menunjukkan demokrasi yang merupakan gagasan mengikutsertakan daulat rakyat umtuk mencari kesejahteraan.
“UUD kehilangan roh, setelah diamendemen empat kali, Tidak terdapat jiwa gotong royong lagi,” ujar Harry.
Menurutnya, keyakinan terhadap undang-undang dan hukum yang baik berdasarkan amanah Bung Karno dalam Pancasila sebagai simbol persatuan harus diterjemahkan menjadi bukti otentik bangsa, harus dipupuk kembali. Berdasarkan kenyataan, sejauh ini bukti otentik bangsa masih menjadi pemicu masalah bangsa.
Maria Fatima Bona/EPR
Sumber: http://www.beritasatu.com/pendidikan/279883-aptisi-pendidkan-swasta-10-tahun-diabaikan-pemerintah.html