Larangan bagi mantan narapidana mencalonkan diri dalam Pilkada mempunyai arti yang sama dengan menjatuhkan pidana pencabutan hak secara permanen. Ketentuan ini telah memperlakukan orang secara tidak manusiawi dan bertentangan dengan hakikat dasar manusia yang cenderung dapat berubah untuk memperbaiki diri. Untuk itu, ketentuan ini bertentangan dengan sifat dan tujuan dari pemberian pidana. Demikian pendapat pakar hukum pidana Chairul Huda saat menyampaikan keterangan ahlinya dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) pada Kamis (4/6), di Ruang Sidang Pleno MK.
“Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 sama artinya menjatuhkan pidana pencabutan hak untuk selama-lamanya secara permanen. Dan ini tentunya bertentangan dengan sifat tujuan dari pemidanaan itu sendiri,” papar Chairul Huda di hadapan Majelis Sidang Pleno yang dipimpin oleh Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman.
Dalam sidang kali ini, MK menggabung pemeriksaan dua perkara, yakni Perkara Nomor 42/PUU-XIII/2015 yang diajukan oleh Jumanto dan Fathor Rasyid dengan Perkara Nomor 49/PUU-XIII/2015 yang diajukan oleh empat belas orang Pemohon, Fredik Lukas Benu, dkk. Selain Chairul Huda, masih terdapat dua orang ahli yang diajukan oleh Pemohon Perkara Nomor 42/PUU-XIII/2015 yang menguji ketentuan Pasal 7 huruf g dan Pasal 45 ayat (2) huruf k UU Pilkada, yakni Margarito Kamis dan Hasanuddin Massaile. Sedangkan Pemohon Perkara Nomor 49/PUU-XIII/2015 yang menguji ketentuan Pasal 7 huruf t UU Pilkada dan Pasal 119 serta Pasal 123 ayat (3) UU ASN mengajukan empat orang ahli, yakni Yohanes Usfunan, Jusuf Lery Rupidara, Johanes Tuba Helan dan Benard L. Tanya.
Dalam objek yang sama, pakar hukum tata negara Margarito Kamis mengungkapkan ketentuan Pasal 7 huruf g UU Pilkada merupakan norma yang pernah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK. Untuk itu, lanjut Margarito, pasal tersebut telah mengingkari norma konstitusional yang dinyatakan dalam putusan MK sebelumnya. “Pasal ini nyata-nyata mengingkari pula norma konstitusional konkret yang dinyatakan dalam Putusan Mahkamah,” tegas Margarito.
Kewajiban Mundur Bagi PNS
Sementara itu, Johanes Tuba Helan menyatakan kewajiban pengunduran diri bagi pegawai negeri sipil (PNS) yang mencalonkan diri dalam Pilkada merupakan pengaturan yang diskriminatif. Hal ini dikarenakan jabatan PNS dan jabatan anggota legislatif adalah sama-sama jabatan publik. “Padahal keduanya sama-sama merupakan jabatan publik bagi penyelenggara negara. Konsekuensi dari pengaturan yang berbeda seperti tersebut, apabila kemudian tidak terpilih, maka bagi Anggota DPR, DPRD, dan DPD kembali ke jabatan semula. Sedangkan para pegawai negeri sipil tidak kembali dalam kedudukan sebagai PNS atau kehilangan statusnya sebagai PNS. Di sini tampak diskriminasi dan ketidakadilan hukum,” kata Johanes, pakar hukum tata negara.
Sedangkan Benard L. Tanya menyatakan pengaturan kewajiban mundur bagi PNS ketika mencalonkan diri dalam Pilkada bias terhadap politik dan jabatan politik. “Bahwa di balik perintah wajib mundur itu terdapat persepsi, asumsi, dan kecurigaan yang agak bias terhadap politik dan jabatan politik, utamanya jabatan politik berbasis pemilu. Munculnya frasa-frasa seperti jabatan profesi, jabatan politik, aparat yang independen dan apolitis, bebas dari politisasi, bebas dari intervensi politik, harus netral dari pengaruh semua golongan, tidak lepas dari persepsi miring itu,” kata Benard, ahli filsafat hukum.
Menanggapi keterangan, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menanyakan tentang status penjelasan Pasal 7 huruf g UU Pilkada. “Apakah penjelasan a quo menurut Saudara adalah merupakan norma baru dan selanjutnya pertanyaannya adalah bagaimana tingkat keberlakuan daripada norma itu?” tanya Manahan.
Menjawab pertanyaan itu, Chairul Huda menyatakan terdapat dua norma yang berlainan antara Pasal 7 huruf g dengan penjelasannya. Menurut Chairul, norma yang terdapat dalam Pasal 7 huruf g subtansinya melarang, sedangkan dalam penjelasan substansinya membolehkan.
“Menurut saya, ini adalah dua norma yang sama sekali berlainan. Di Pasal 7 dalam normanya itu melarang, isinya menurut saya merupakan larangan bagi mereka yang pernah dijatuhi pidana penjara 5 tahun atau lebih untuk ikut serta berpartisipasi di dalam suatu pemilihan kepala daerah. Sementara untuk penjelasannya, justru membolehkan, yaitu mereka yang telah selesai menjalani pidananya 5 tahun sebagai bakal calon. Ya, kalau dalam pandangan saya, seharusnya kalaupun mau dikatakan pembolehan itu, pembolehannya bukan di dalam penjelasan, tetapi di dalam normanya itu sendiri,” papar Chairul.
Dalam sidang terakhir ini, Ketua Majelis Sidang Pleno Anwar Usman meminta kepada Pemohon untuk segera menyerahkan kesimpulan kepada Mahkamah. “Ini sidang yang terakhir, ya. Artinya, tinggal penyerahan kesimpulan ya untuk Pemohon Nomor 42, dan 49, termasuk untuk Presiden melalui kuasanya,” pungkas Anwar. (Triya IR)