Dalam rangka sosialisasi MK kepada publik, untuk yang kesekian kalinya, sekitar 75 guru SMP/MTs Se-DKI Jakarta mengikuti temu wicara bertajuk Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan RI. Acara yang diselenggarakan atas kerja sama Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Dinas Pendidikan Dasar Provinsi DKI Jakarta tersebut berlangsung pada Selasa (9/5) di ruang serbaguna MK lantai 4 Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta.
Acara dimulai pukul 08.15 WIB dengan materi tentang Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan UUD 1945 yang disampaikan oleh Ir. Rully Chairul Azwar, mantan anggota PAH I BP MPR RI dengan moderator Tenaga Ahli MK, Fritz Edward Siregar, S.H., LL.M. Dalam uraiannya Rully menjelaskan bahwa arah dan semangat perubahan UUD 1945 yang telah berlangsung hingga empat kali diantaranya adalah mengatur mekanisme check and balances, penguatan hak-hak rakyat, penguatan legislatif, dan sebagainya. Selain itu, menurut Wakil Sekjen DPP Partai Golkar ini, salah satu wacana yang menonjol ketika pembahasan amandemen UUD 1945 berlangsung adalah soal pemilihan Presiden langsung sebagai tuntutan reformasi dalam sistem ketatanegaraan RI serta dibentuknya Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal dan penafsir konstitusi. MK dibentuk dengan fungsi untuk mengawal dan menafsirkan konstitusi, kata Rully.
Sedangkan sesi kedua, para peserta mendapatkan materi tentang ke-MK-an yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Soedarsono, S.H. dengan moderator tenaga ahli MK Refliani, S.H., M.H. Dalam uraiannya Soedarsono menguraikan tentang tugas, kewenangan dan kewajiban MK sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 UUD 1945, baik menyangkut pengujian UU, sengketa kewenangan antarlembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil Pemilu dan impeachment presiden.
Menyinggung tentang hak warga negara untuk mengajukan pengujian UU di MK, Soedarsono menegaskan bahwa setiap WNI memiliki hak untuk pengajukan permohonan pengujian UU di MK. Bahkan perorangan pun boleh mengajukan pengujian UU di MK, katanya. Selain itu, menjawab pertanyaan peserta tentang pembatasan parpol, Soedarsono menegaskan bahwa perlunya jumlah parpol dibatasi melalui electoral threshold dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum. Coba bayangkan, bagaimana jika jumlah parpol sampai seribu, tandas Darsono.
Pada pukul 12.15 WIB, setelah dilakukan dialog dan tanya jawab, akhirnya acara diakhiri dengan pembagian piagam serta cinderamata bagi para peserta. (WS. Koentjoro)