JAKARTA - Pemerintah diingatkan agar tidak menjadikan rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas sebagai landasan dalam menentukan kebijakan sektor Energi.
Pengamat migas dari Asosiasi Ekonomi-Politik Indonesia Salamudin Daeng meminta agar Pemerintah juga berhati-hati dalam menjaga kebijakan yang menyangkut PT Pertamina. Mengingat BUMN Migas ini memiliki procurement yang mencapai Rp720 triliun.
"Dengan procurement Pertamina yang sebesar itu, saya kira akan menjadi bancakan siapapun yang berkuasa di negeri ini," ujarnya di Warung Daun Cikini, Jakarta, Rabu (3/6/2015).
Menurutnya, masalah di sektor migas sangatlah kompleks maka dari itu negara tidak bisa selalu mengacu rekomendasi tim RTKM.
"Karena ada acuan lain yang lebih utama, yaitu putusan Mahkamah Konstitusi (MK), karena itu bersifat final dan legal. Tim RTKM hanyalah lembaga outsourcing yang dibuat Menteri ESDM. Jadi tidak bisa dimintai pertanggungjawaban secara hukum. Rekomendasi tim tidak bersifat mengikat,"ucapnya.
Dia menilai, seharusnya Presiden Jokowi lebih melihat putusan MK dalam melakukan reformasi tatakelola sektor migas.
"Membubarkan BP migas, dan kemudian digantikan secara ilegal dengan adanya SKK migas oleh SBY. Seharusnya SKK migas dibubarkan. Transaksinya mencapai Rp400 triliun per tahun. Mestinya SKK migas ini yang dibubarkan lebih awal. Baru keputusan MK ini diikuti perubahan UU Migas,"ujarnya.
"Kami merekomendasikan kembali ke UU nomor 8 tahun 1971, lebih jelas posisi negara dan posisi Pertamina," tuturnya.
(rzy)
Sumber: http://economy.okezone.com/read/2015/06/03/19/1159607/pemerintah-diminta-mengacu-putusan-mk-bukan-tim-faisal-basri