Para pemohon dalam perkara nomor 56/PUU-XIII/2015 melakukan perbaikan terhadap permohonannya pada Rabu (3/6), di Ruang Sidang Pleno MK. Jika sebelumnya mereka menguji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (UU Grasi), dalam sidang kali ditegaskan bahwa yang diuji hanya UU Grasi.
“Maka dalam perbaikan permohonan ini, kami sampaikan bahwa kami hanya menguji ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi,” kata Wahyudi Djafar, selaku kuasa hukum Pemohon.
Adapun ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UU Grasi yakni:
(1) Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung dan melakukan penelitian terhadap pemohon grasi dan permohonan grasinya.
(2) Keputusan Presiden dapat berupa pemberian atau penolakan grasi dengan disertai alasan yang layak.
Wahyudi menyatakan, rumusan yang terdapat dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UU Grasi telah menciptakan ketidakpastian hukum. Menurutnya, Pasal a quo tidak memberikan secara eksplisit kewajiban kepada Presiden untuk mempertimbangkan setiap permohonan grasi yang diajukan. Pasal a quo juga tidak mewajibkan Presiden memberikan pertimbangan yang layak dalam setiap keputusan grasi. Sehingga, lanjut Wahyudi, dalam setiap keputusan permohonan grasi, tidak pernah ada alat ukur dan indikator yang pasti perihal permohonan dikabulkan atau ditolak. Menurutnya, semestinya terdapat penelitian yang layak dan pertimbangan yang detail dalam setiap keputusan grasi.
“Semestinya ada penelitian yang layak dan pertimbangan yang mendetail dalam pemberian setiap keputusan grasi. Sebagai bahan pertimbangan kami berikan studi-studi komparasi seperti juga telah diuraikan dalam permohonan sebelumnya, bagaimana praktik pemberian grasi di Ameriksa Serikat dan Filipina,” papar Wahyudi di hadapan Majelis Panel yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Selain itu, Wahyudi juga mengungkapkan bahwa pemohon grasi memiliki hak untuk mengetahui pertimbangan yang diberikan oleh presiden dalam memberi atau menolak grasi. Menurutnya, pertimbangan itu memberikan ruang bagi pemohon grasi untuk dapat mengetahui bahwa grasi yang Ia mohonkan secara nyata telah dipertimbangkan oleh Presiden.
Pada sidang kali ini, para Pemohon juga meperjelas kedudukan hukumnya. Menurut Wahyudi, Pemohon 1 dalam perkara ini yaitu Perkumpulan Imparsial sebagai sebagai organisasi. Sedangkan Pemohon lainnya para aktivis Hak Asasi Manusia, sebagai perseorangan yakni Anbar Jayadi, Rangga Sujud Widigda, Luthfi Saputra dan Haris Azhar.
Pada sidang sebelumnya, Majelis Panel mempertanyakan kedudukan hukum Pemohon yang tidak menghadiri persidangan, tidak memberikan kuasa kepada siapapun, dan tidak membubuhkan tanda tangan di permohonan. Pada waktu itu, masih satu Pemohon yang dianggap mengajukan permohonan, yakni Anbar Jayadi yang kemudian membacakan permohonan di hadapan Majelis Panel.
Mangklarifikasi perbaikan permohonan, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar menanyakan kepada Anbar Jayadi terkait permohonan yang sudah Ia bacakan sebelumnya. “Kan permohonannya sudah berbeda nih dengan yang kemarin ya, saya mau klarifikasi dulu sama Saudari Anbar Jayadi ya. Bagaimana dengan permohonan yang kemarin diucapakan langsung di sini, disampaikan, apakah dicabut secara resmi,” tanya Patrialis.
Menjawab pertanyaan, Anbar menyatakan permohonan yang Ia sampaikan sebelumnya dicabut. “Kalau begitu permohonannya yang kemarin dicabut, supaya permohonan yang hari ini bisa tetap berlangsung,” kata Anbar. (Triya IR)