Pemerintah menyampaikan tanggapannya terkait permohonan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang meminta “payung hukum” kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dapat menjual seluruh saham bank gagal. Keterangan pemerintah disampaikan oleh Direktur Jenderal HAM Kemenkumham sekaligus sebagai kuasa presiden, Mualimin Abdi pada sidang yang digelar Kamis (28/) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam keterangannya, Mualimin menyampaikan bahwa hak kepemilikan, termasuk kepemilikan saham dari pasar modal, bersifat tidak mutlak. Sebab, hak kepemilikan dapat dibatasi sepanjang pembatasan itu diatur dengan undang-undang. Pembatasan tersebut sejalan dengan perintah Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang dengan maksud untuk menjamin hak dan kebebasan orang lain.
Dalam hukum perdata tepatnya pada Pasal 584 juga diatur bahwa hakim milik tidak dapat diperoleh selain dengan pengambilan yang dimiliki, dengan perlekatan, dengan lewat waktu, dengan pewarisan, dan dengan penunjukkan atau penyerahan berdasarkan peristiwa perdata. Dengan demikian, Pemerintah berpendapat bahwa bila LPS ingin memiliki kewenangan untuk menjual seluruh saham bank gagal, termasuk menjual saham yang dibeli di pasar modal, maka perlu ada pengaturan dalam UU LPS tentang pengecualian peralihan hak milik atas saham.
“Sehingga menurut Pemerintah, ketentuan dalam Undang-Undang LPS dimaksud adalah merupakan ketentuan yang bersifat lex specialis (bersifat khusus, red) dari prinsip dasar kepemilikan, sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 584 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,” ujar Mualimin di hadapan pleno hakim yang dipimpin langsung oleh Ketua MK, Arief Hidayat.
Prinsip kepemilikan juga diatur dalam Pasal 9 huruf a angka 4 poin 3 UU LPS. Pasal a quo mengatur syarat kesediaan melepas dan menyerahkan kepemilikan saham bank gagal kepada LPS. Dalam pasal a quo disyaratkan bahwa sebagai peserta penjamin, setiap bank wajib menyerahkan dokumen berupa surat pernyataan dari direksi, komisaris, dan pemegang saham bank tentang kesediaan melepas kepemilikan maupun kepengurusan saham kepada LPS.
Berdasarkan syarat dalam Pasal 9 huruf a angka 4 poin 3 UU LPS tersebut, Pemerintah menganggap UU LPS tidak menyimpangi prinsip dasar peralihan hak milik yang diatur di dalam Pasal 584 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dengan demikian, kewenangan LPS untuk menjual seluruh saham bank gagal yang tengah ditangani bersifat kasuistis.
“Tergantung, apakah mekanisme yang ditentukan di dalam ketentuan Pasal 9 huruf a angka 4 poin 3 Undang-Undang LPS telah terpenuhi atau belum?” tutur Mualimin yang didampingi jajaran dari Kemenkumham dan Kementerian Ekonomi.
Terkait dengan Pasal 28 ayat (1), Pasal 29, Pasal 35, serta Pasal 42 ayat (6) dan ayat (7) UU LPS yang diminta ditafsirkan oleh Pemohon agar LPS berwenang menjual saham milik pihak lain, Pemerintah berpendapat pasal-pasal tersebut justru tidak mengatur mengenai kewenangan LPS dalam menjual saham. Pasal-pasal tersebut menurut Pemerintah justru mengatur mengenai kewenangan LPS untuk menentukan besaran bagian yang akan diterima oleh LPS dan pemegang saham yang lama atas hasil penjualan saham bank gagal tersebut. Dengan kata lain, Pemerintah menganggap LPS tidak memiliki kewenangan untuk menjual 100 persen atau seluruh saham bank gagal yang tengah ditangani.
Dalam sidang kali ini, seharusnya DPR diagendakan untuk menyampaikan keterangannya terkait pengujian Pasal 30 ayat (1), Pasal 38 ayat (1), dan Pasal 42 ayat (1) UU LPS yang diajukan sendiri oleh LPS. Namun, DPR berhalangan hadir dan memberikan surat pemberitahuan yang menyatakan DPR tengah disibukkan dengan berbagai agenda sidang legislasi. (Yusti Nurul Agustin)