Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian materi Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) -Perkara No. 25/PUU-XIII/2015 pada Rabu (27/5) siang dengan agenda mendengarkan keterangan ahli Pemerintah. Pada persidangan ini, pemerintah menghadirkan guru besar ilmu hukum Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. Romli Atmasasmita.
“Keistimewaan dan keluarbiasaan tugas maupun wewenang KPK merupakan hak istimewa pimpinan KPK yang harus diimbangi secara proporsional oleh ketentuan rambu pembatas dan akibat hukum yang harus dihadapi oleh pimpinan KPK ketika telah ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan undang-undang,” ujar Romli Atmasasmita kepada pimpinan sidang, Ketua MK Arief Hidayat yang didampingi para hakim konstitusi lainnya.
Dikatakan Romli, praanggapan bahwa ketentuan tentang pemberhentian sementara terhadap pimpinan KPK yang telah ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan undang-undang, tidak serta merta harus dipandang sebagai bentuk pelemahan KPK. “Apalagi dipandang sebagai bertentangan dengan asas persamaan di muka hukum, sepanjang bukti permulaan cukup berdasarkan undang-undang telah diperoleh untuk menetapkan pimpinan KPK sebagai tersangka,” urai Romli.
Menurut Romli, praanggapan sementara masyarakat dan ahli hukum bahwa penetapan pimpinan KPK sebagai bentuk kriminalisasi terbukti salah kaprah. Karena menurut doktrin hukum pidana, pengertian istilah ‘kriminalisasi’ bukan dimaksudkan dan tidak dapat disamakan dengan pengertian istilah ‘rekayasa atau politisasi’ karena tidak ada hubungan satu sama lain, apalagi nilai relevansinya.
Romli melanjutkan, ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU KPK tidak bertentangan dengan ketentuan UUD 1945 khusus Pasal 28D ayat (1) khusus terkait kalimat “ …kepastian hukum yang adil dan persamaan di muka hukum.”
“Karena keadilan yang hendak diwujudkan dengan ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU KPK adalah keadilan yang bersifat distributif dalam konteks hubungan kelembagaan KPK, kepolisian dan kejaksaan serta pimpinan penyelenggara negara yang lain,” tegas Romli.
Selain itu, kata Romli, ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU KPK dan pemberhentian sementara pimpinan KPK yang telah ditetapkan sebagai tersangka adalah bentuk penerapan hukum terhadap peristiwa konkret. Menurutnya, hal tersebut tidak ada relevansinya dengan asas persamaan di muka hukum, apalagi bertentangan dengan hak asasi manusia sepanjang prosedur penetapan tersangka telah memenuhi dua alat bukti permulaan yang cukup yang menunjukkan telah terjadi suatu peristiwa pidana dan telah ada seseorang yang ditetapkan diduga telah melakukan pelanggaran hukum tersebut.
“Penempatan pimpinan KPK sebagai tersangka dan pemberhentian sementara pimpinan KPK merupakan dua sisi dari satu mata uang. Penempatan pimpinan KPK sebagai tersangka dan pemberhentian sementara merupakan serangkaian tindakan hukum yang bersifat sistematis logis dan sekaligus mencerminkan langkah hukum yang menjunjung tinggi asas persamaan di muka hukum,” papar Romli kepada Majelis Hakim.
Sebagaimana diketahui, dalam permohonannya Pemohon (Forum Kajian Hukum dan Konstitusi) mendalilkan telah dirugikan dengan berlakunya Pasal 32 ayat (2) UU KPK yang mengatur pemberhentian sementara pimpinan KPK ketika menjadi tersangka tindak pidana kejahatan. Pasal ini dinilai telah mengakibatkan tidak adanya kesamaan yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 terhadap KPK dibandingkan penegak hukum lain khususnya kepolisian. Hal ini terlihat dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia yang tidak mengatur tentang pemberhentian apabila pimpinan Polri menjadi tersangka.
Menurut Pemohon, adanya Pasal 32 ayat (2) UU KPK mengakibatkan Pimpinan KPK dengan mudah diberhentikan sementara oleh Presiden dengan adanya penetapan tersangka saja oleh Polri, padahal belum tentu status tersangka tersebut dinaikkan menjadi terdakwa. Proses penetapan tersangka oleh Polri dapat dilakukan hanya dengan bukti permulaan yakni laporan polisi dan satu alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP.
Kewenangan ini dinilai Pemohon sangat besar, dan dalam pelaksanaannya dapat memungkinkan terjadinya manipulasi kasus hanya untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka saja. Berlakunya aturan ini pun dinilai berpotensi mengakibatkan KPK tidak dapat berfungsi efektif dan optimal dengan adanya penetapan tersangka terhadap para pimpinan KPK. Terlebih jika penetapan tersangka dilakukan kepada seluruh pimpinan KPK sehingga membuat KPK mengalami kekosongan posisi pimpinan. (Nano Tresna Arfana)