Membaca Cermat Putusan MK dan Kekalahan KPK Melawan Hadi Poernomo
Rabu, 27 Mei 2015
| 09:00 WIB
Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) membuka peluang penetapan status tersangka digugat ke praperadilan dengan syarat yaitu tidak ada dua alat bukti atau lebih. Tetapi PN Jaksel menyebut bahwa penyidik dan penyelidik KPK yang menangani kasus Hadi Poernomo tidak sah sehingga status tersangka Hadi Poernomo juga dinyatakan tidak sah.
Putusan MK itu diputus pada 28 April 2014. Dalam pertimbangannya, majelis hakim menganggap penetapan tersangka haruslah melalui 2 alat bukti yang cukup. Hal ini untuk menghormati HAM. Jika tidak ada 2 alat bukti, maka penyidik bisa digugat ke praperadilan.
"Dengan demikian putusan MK tidak menghendaki hakim praperadilan menggunakan alasan hukum di luar pemeriksaan bukti permulaan yang cukup dengan minimal dua alat bukti sebagai alasan untuk menetapkan sah tidaknya penetapan tersangka," kata ahli hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono kepada wartawan, Rabu (27/5/2015).
Menurut Bayu, bahwa benar MK telah menyatakan penetapan tersangka merupakan objek praperadilan, namun dalam putusannya MK juga memberikan batasan mana yang harus dilakukan pengadilan untuk memeriksa sah atau tidaknya penetapan tersangka, dalam hal ini hakim praperadilan hanya menguji apakah penetapan tersangka dilakukan dengan bukti permulaan yang cukup, di mana bukti permulaan yang cukup adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP.
Tapi hakim praperadilan PN Jaksel yang mengabulkan permohonan Hadi Poernomo dengan alasan bahwa KPK tidak berwenang mengangkat penyelidik dan penyidik independen bertentangan dengan maksud putusan MK.
"Hakim praperadilan yang mengabulkan permohonan Hadi Poernomo sepertinya tidak membaca dan memahami pertimbangan hukum maupun amar putusan MK," ucap pengajar Universitas Jember ini.
Sehingga, hakim tunggal di kasus Hadi Pernomo terlalu jauh ikut memeriksa mekanisme pengisian, perekrutan maupun pengangkatan aparatur di suatu lembaga penegak hukum sebagai dasar memeriksa sah atau tidaknya penetapan tersangka
"Kalau hakim praperadilan konsisten menggunakan putusan MK sebagai dasar keabsahan praperadilan memeriksa penetapan tersangka, maka seharusnya hakim praperadilan harus mengambil keseluruhan amar putusan MK. Tidak bisa amar putusan yang lain ditinggalkan," pungkasnya.