Mahkamah Konstitusi memutuskan tidak dapat menerima permohonan yang diajukan oleh mantan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kota Palu yang juga bakal calon legislatif DPRD Kabupaten Tolitoli Sulawesi Tengah dari Partai Nasdem Aziz Bestari. Putusan dengan Nomor 29/PUU-XII/2014 ini dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat pada Selasa (26/5) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Aswanto, Pemohon meminta agar ketentuan dalam Penjelasan Pasal 51 ayat (1) huruf g UU UU Pemilu Legislatif dan UU Pemerintahan Daerah, dimaknai “meliputi terhadap orang yang dipidana penjara karena rivalitas politik antara mantan terpidana dengan Kekuasaan Politik Lokal yang menunggangi hukum untuk kepentingan politiknya di setiap elected officials. Pemohon menilai hal tersebut dapat dibuktikan melalui pendapat dan atau penilaian resmi melalui persidangan dan atau permusyawaratan lembaga-lembaga Negara dan/atau badan-badan Otoritas Pemilu dan Otoritas Hak Asasi Manusia”, sebagaimana kasus hukum yang Pemohon alami.
Namun, lanjut Aswanto, dalam petitum subsidairnya Pemohon meminta agar ketentuan tersebut dinyatakan bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai ”tindak pidana yang lahir karena kealpaan ringan (culpa levis)”. “Menurut Mahkamah petitum di atas adalah petitum yang tidak jelas dan bersifat kabur,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Aswanto, Pemohon mengaitkan permohonannya dengan kasus hukum yang Pemohon alami, padahal persoalan hukum Pemohon telah mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap, yang putusan dimaksud harus dihormati. Pemohon juga telah selesai menjalani hukuman yang dikenakan oleh Putusan a quo, yang proses menjalani hukuman tersebut merupakan bentuk kepatuhan terhadap putusan pengadilan. Persoalan hukum Pemohon sebagaimana dalil Pemohon, seandainyapun benar dianggap melanggar ketentuan dalam UUD 1945, semata-mata merupakan masalah penerapan atau implementasi Undang-Undang.
Menurut Mahkamah, hal tersebut bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma. Jika pun sebagaimana didalilkan Pemohon bahwa praktik peradilan menunjukkan inkonsistensi, dan seandainya praktik demikian juga menimbulkan ketidakpastian hukum, “Mahkamah tetap berpendapat bahwa hal tersebut bukan menjadi kewenangan Mahkamah. Hal demikian baru dapat menjadi kewenangan Mahkamah apabila Mahkamah diberi kewenangan oleh UUD 1945 untuk mengadili permohonan pengaduan konstitusional (constitutional complaint). Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas menurut Mahkamah permohonan Pemohon sepanjang mengenai pengujian Penjelasan Pasal 51 ayat (1) huruf g UU 18/2012 bersifat kabur atau tidak jelas,” terangnya.
Aziz merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 51 ayat (1) huruf g UU Pileg dan Pasal 58 huruf f UU Pemda. Kedua pasal tersebut menyatakan bakal calon legislatif harus tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. (Lulu Anjarsari)