Sebelas orang aktivis melakukan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (26/5) pagi. Para Pemohon, yakni Yudi Latif, Adhie M. Massardi, dkk merasa dirugikan dan/atau berpotensi dirugikan hak-hak konstitusionalnya dalam usaha bela negara atas diberlakukannya Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU a quo. Mewakili para Pemohon dalam perkara nomor 59/PUU-XIII/2015 ini, Trijono Hardjono, Ratna Sarumpaet, dan Eka Gumilar hadir dalam persidangan yang digelar di Ruang Sidang Pleno Lantai 2 Gedung MK.
Adapun Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU a quo menyatakan:
Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.
Terkait kerugian konstitusional, Trijono menyatakan bahwa Penjelasan Pasal a quo telah menghilangkan dokumen kenegaraan doktrin politik nasional tentang penetapan penegasan Pancasila sebagai dasar negara. Hal ini dikarenakan Penjelasan Pasal a quo telah menempatkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) Nomor XVIII/MPR/1998 sebagai TAP MPR yang tidak berlaku lagi. Padahal, lanjut Trijono, penetapan Pancasila sebagai dasar negara tercantum dalam Pasal 1 TAP MPR Nomor XVIII/MPR/1998. Untuk itu, Trijono menilai ketentuan formal yang menetapkan pancasila sebagai dasar negara telah hilang karena penjelasan Pasal a quo.
“Dengan demikian, kami menilai bahwa ketetapan formal Pancasila sebagai dasar negara sebagai satu-satunya produk peraturan perundang-undnagan yang menyatakan secara formal bahwa Pancasila adalah dasar negara hilang karena penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 pada huruf b ayat (1) Pasal 7 itu,” ucap Trijono di hadapan majelis hakim panel yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.
Lebih lanjut dalam petitumnya, para Pemohon meminta kepada MK agar menerima permohonan dengan semua alasan hukum yang menyertainya. Para Pemohon juga meminta agar MK menyatakan ketentuan Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU P3 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selain itu, juga dimohonkan agar MK merekomendasikan kepada MPR untuk segera melaksanakan peninjauan kembali atas kedudukan formal konstitusional TAP MPR Nomor I/MPR/2003 sebagai sumber hukum dalam Sistem Peraturan Perundang-undangan Nasional.
Setelah mendengarkan pokok permohonan, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati memberikan pemaparan kepada Pemohon terkait politik hukum dimasukkannya TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Setelah itu, Maria Farida juga memberikan informasi bahwa sudah terdapat beberapa permohonan ke MK yang menguji TAP MPR, namun tidak dapat diterima. Kemudian, terkait dengan permintaan agar MK merekomendasikan kepada MPR untuk segera melaksanakan peninjauan kembali atas kedudukan formal konstitusional TAP MPR, menurut Maria Farida hal itu bukanlah kewenangan MK.
“Sudah ada beberapa, tiga permohonan ke MK yang mau menguji TAP MPR dan semua tidak sampai ke sidang pleno dan dianggap bahwa itu bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Nanti kalau Mahkamah Konstitusi menguji itu nanti dikatakan melampaui kewenangan, ya. Dan juga yang nomor tujuh, merekomendasikan kepada MPR untuk segera melaksanakan parliament review, itu juga bukan kewenangan MK ya,” kata Maria Farida.
Lebih lanjut, Maria Farida menyatakan bahwa UU P3 telah mengatur bahwa Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara. “Nah, kalau kita melihat di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, dalam Pasal 2 dan Pasal 3 di sana ditetapkan kemudian bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 merupaka sumber dari peraturan perundang-undangan,” urai Maria Farida.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo mencermati kedudukan hukum Pemohon yang menurutnya kurang jelas. Suhartoyo juga meminta kepada Pemohon untuk lebih mempertegas kerugian konstitusional yang dialami dengan merujuk pada Undang-Undang MK dan putusan-putusan MK.
“Harus dipertegas, di-explore lebih jauh lagi apa kerugian-kerugian konstitusional yang Bapak-Bapak, Ibu, alami kalau perorangan. Karena seperti dalam Pasal 51 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi sudah dijelaskan bagaimana yang dimaksud dengan permohonan warga negara, bagaimana yang badan hukum, dan lain sebagainya. Kemudian Bapak, juga ada baiknya referensi dimasukkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang memperkuat apa sih sebenarnya atau batasan-batasan kerugian konstitusionalitas yang dialami seorang Pemohon itu misalnya dengan berlakunya undang-undang ini dirugikan, atau setidak-tidaknya kalau undang-undang ini sudah dilakukan perubahan, potensi kerugian itu menjadi hilang,” papar Suhartoyo.
Kemudian, para Pemohon diberikan waktu 14 hari kerja untuk melakukan perbaikan permohonan. (Triya IR)