Mahkamah Konstitusi (MK) memutus aturan mengenai penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi sebesar 2% seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Demikian putusan dengan Nomor 46/PUU-XII/2014 ini dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat pada Selasa (26/5) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar Arief membacakan putusan yang diajukan oleh PT Kame Komunikasi Indonesia tersebut.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Wahidudin Adams, keberatan Pemohon atas penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi maksimal 2% dari NJOP dinilai cukup beralasan. Mahkamah memahami bahwa di satu sisi penetapan tarif maksimal bertujuan agar tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi tidak berlebihan dan memberatkan penyedia menara dan penyelenggara telekomunikasi. Namun di sisi lain, lanjut Wahidudin, jika penerapannya di setiap daerah adalah sama, tanpa memperhatikan frekuensi pengawasan dan pengendalian, justru akan menimbulkan ketidakadilan.
“Ketentuan batas maksimal 2% dari NJOP yang menyebabkan pemerintah daerah mematok harga tertinggi yaitu 2% dari NJOP tanpa perhitungan yang jelas merupakan ketentuan yang tidak memenuhi rasa keadilan. Karena akibat patokan harga maksimal yang menyebabkan hampir di setiap daerah menggunakan batas maksimal untuk memberlakukan pengenaan tarif yaitu 2% bagi setiap daerah dengan karakteristik yang sesungguhnya berbeda adalah hal yang tidak adil. Karena memperlakukan dengan sama terhadap hal yang berbeda adalah diskriminatif,” terangnya.
Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 menegaskan bahwa tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan penghitungannya, karena itulah ditentukan presentase 2% sebagai batas maksimal penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi. Namun menurut Mahkamah, penjelasan demikian menggambarkan tidak terpenuhinya prinsip pemungutan pajak, baik prinsip kepastian hukum, keadilan, kemudahan, dan efisiensi. Padahal Pemerintah dalam memperluas objek baik pajak maupun retribusi seharusnya mempertimbangkan prinsip-prinsip pemungutan pajak, sehingga dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan ketidakjelasan dalam penghitungan dan kesulitan penentuan tarif. “Dengan demikian menurut Mahkamah Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” tegas Wahidudin.
Perhitungan yang Jelas
Wahidudin menambahkan dari sisi pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, penjelasan pasal seharusnya tidak memuat norma, karena penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Akan tetapi, tambah Wahidudin, Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 justru mengatur norma yang menentukan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi yaitu “paling tinggi 2% dari NJOP”. Selain itu, norma yang terkandung dalam Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 justru telah menimbulkan ketidakjelasan norma yang terkandung dalam Pasal 124 UU 28/2009 itu sendiri. Akibat norma tersebut, sebagian besar pemerintah daerah justru mematok tarif 2% dari NJOP, tanpa menghitung dengan jelas berapa sesungguhnya tarif retribusi yang layak dikenakan. Penentuan taruf maksimal tersebut dilakukan dengan tidak memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut. “Dengan demikian menurut Mahkamah Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 tidak bersesuaian dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik,” tegasnya.
Mahkamah pun memutuskan agar Pemerintah segera membuat formulasi/rumus penghitungan yang jelas terhadap tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi yang sesuai dengan layanan atas pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi yang telah diterima oleh wajib retribusi. Hal ini juga dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut. Dengan demikian, tujuan pengendalian menara telekomunikasi untuk meminimalisasi eksternalitas negatif dapat tercapai.
Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 151 ayat (3) dan ayat (4) UU 28/2009, apabila tingkat penggunaan jasa sulit diukur maka tingkat penggunaan jasa dapat ditaksir berdasarkan rumus yang dibuat oleh Pemerintah Daerah, dan rumus dimaksud harus mencerminkan beban yang dipikul oleh Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan jasa tersebut.
“Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 telah bertentangan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, serta menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian permohonan Pemohon beralasan menurut hukum,” tandasnya.
Dalam permohnannya, Pemohon mendalilkan dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan berlakunya Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Penjelasan tersebut berbunyi:
Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pelayanan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudian penghitungan tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2% dari nilai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan pajak bumi dan bangunan menara telekomunikasi, yang besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut.
Pemohon memaparkan bahwa akibat dari Penjelasan Pasal 124 tersebut membuat ketentuan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi tidak lagi didasarkan pada biaya-biaya pengawasan dan pengendalian. Pemohon menjelaskan dalam praktiknya pemerintah daerah langsung menetapkan tarif sebesar 2% dari NJOP. (Lulu Anjarsari)