Pimpinan KPK Non Aktif Abraham Samad membantah menghendaki keistimewaan bagi pimpinan KPK dalam hukum. Ia menjelaskan jalan yang ditempuh Wakil Ketua KPK nonaktif Bambang Widjojanto untuk melakukan uji materiil terhadap aturan pemberhentian sementara KPK adalah untuk meminta perlindungan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Hal ini disampaikan Samad selaku saksi yang diajukan Bambang Widjajanto pada sidang yang digelar senin (25/5) di Ruang Sidang MK. “Saya perlu tegaskan bahwa saya selaku Pimpinan KPK, tidak meminta previlege, jadi tidak menyetuji yang namanya previlege bagi Pimpinan KPK, tapi yang kami butuhkan bahwa perlindungan serta perlakuan yang sama,” tegasnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Ia pun menambahkan bahwa Pasal 32 ayat (1) huruf c dan ayat (2) merupakan aturan yang berpotensi membuka pintu masuk kepada pimpinan KPK sehingga berdampak terhentinya pemberantasan korupsi. Selain itu, status tersangka seharusnya tidak langsung menjadi alasan untuk memberhentikan sementara pimpinan KPK. Hal itu, lanjutnya, akan merusak capaian target kasus yang harus dituntaskan KPK.
“Kalau memang pun ada dugaan Pimpinan KPK melakukan tindak pidana, maka jalan tengahnya silakan diproses. Tapi kita tidak boleh serta merta langsung diberhentikan karena begitu serta merta kita diberhentikan dan ketika kita dijadikan tersangka, maka dapat dipastikan target capaian itu tidak akan bisa terlaksana seperti sekarang ini. Jadi akan merugikan pemberantasan korupsi,” paparnya menjawab pertanyaan yang diajukan Hakim Konstitusi Aswanto.
Dalam sidang tersebut, hadir pula mantan penyidik KPK Novel Baswedan yang menjelaskan hal serupa. Ia menekankan apa yang terjadi pada dirinya juga pada pimpinan KPK lainnya merupakan upaya kriminalisasi dengan menggunakan pasal yang diujikan. Terlebih, pimpinan KPK periode III hampir menyentuh pusat kekuasaan dan penegak hukum. “Pada jilid satu belum ada perkara yang berhubungan dengan pusat kekuasaan atau penegak hukum, Yang Mulia. Jadi itu efek yang paling saya bisa pandang sebagai respon serangan balik atau kriminalisasi,” tuturnya.
Pernyataan kedua saksi dikuatkan dengan pernyataan Bambang Widjojanto. Ia menegaskan pada dasarnya sebagai pemohon, ia setuju dengan aturan mengenai pemberhentian sementara pimpinan KPK sebagai standar moral untuk menjaga kode etik pimpinan KPK. “Namun ketika kami dinyatakan sebagai tersangka harusnya sama dengan yang lain-lainnya, tersangka dalam periode jabatan di mana kami menjadi pimpinan. Jadi tidak fair menurut permohonan ini, kalau seseorang dinyatakan tersangka jauh sebelum kami menjadi Pimpinan KPK. Itu sebabnya judulnya adalah disebutkan beberapa kali ada kriminalisasi karena ada poin itu di situ. Itu sebabnya kami mohonkan constitutional constitution,” ujarnya.
Bambang mengajukan pengujian terhadap norma yang tercantum dalam Pasal 32 ayat (1) huruf c dan ayat (2) UU KPK. Pasal 32 ayat (1) huruf c UU KPK menyatakan pimpinan KPK berhenti atau dapat diberhentikan menjadi terdakwa akibat melakukan tindak pidana kejahatan. Menurutnya, ketentuan tersebut merugikan dirinya yang diberhentikan sebagai pimpinan KPK setelah ditetapkan sebagai tersangka. Sebab, Pemohon yakin penetapan dirinya sebagai tersangka melalui rekayasa kasus yang justru sudah terjadi lima tahun lalu saat ia menangani sengketa Pemilukada di MK. Selain itu, sesuai amanat Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dalam penetapan tersangka terhadap diri Pemohon seharusnya perlu memerhatikan asa praduga tidak bersalah. Sayangnya, asas tersebut justru dilanggar oleh Pasal 32 ayat (1) huruf c UU KPK. Sebab, pasal a quo tidak menyebutkan secara rinci tindak pidana apa yang mampu membuat pimpinan KPK diberhentikan. Selain itu, pasal a quo juga dinilai tidak menyebutkan waktu terjadinya pelanggaran pidana yang dapat membuat pimpinan KPK diberhentikan. (Lulu Anjarsari)