KY Harus Dilibatkan untuk Memutus Dinasti Pengadilan
Senin, 25 Mei 2015
| 09:15 WIB
Gedung Komisi Yudisial (ari/detikcom)
Jakarta - Pengamat hukum Asep Irawan menduga keberatan para hakim agung yang menolak keterlibatan Komisi Yudisial (KY) terlibat seleksi hakim karena khawatir anak-anak mereka tidak bisa jadi hakim. Penolakan ini dituangkan dalam gugatan yang dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Padahal keterlibatan KY dalam menyeleksi hakim adalah untuk memutus dinasti pengadilan.
"Jika cara mencegah dinasti politik di suatu daerah adalah dengan membatasi keluarga kepala daerah incumbent untuk mencalonkan diri di pilkada dan baru diperbolehkan setelah melewati masa tunggu 1 periode, maka jalan yang dapat ditempuh untuk mencegah dinasti di lembaga pengadilan adalah dengan membuat proses rekrutmen dan pengangkatan hakim secara transparan, akuntabel dan adil," kata ahli hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono kepada wartawan, Minggu (24/5/2015).
Dinasti pengadilan yang dimaksudkan adalah orang-orang yang sebenarnya tidak memiliki kompetensi dan kecakapan untuk diangkat menjadi seorang hakim, namun karena semata-mata memiliki hubungan kekeluargaan dengan pejabat pengadilan orang-orang-orang tersebut tetap dipaksakan dengan segala cara untuk masuk menjadi hakim melalui proses seleksi yang tidak transparan dan akuntabel. Terminologi 'dinasti pengadilan' tidak meliputi dan tidak ditujukan kepada orang-orang yang meskipun memiliki hubungan kekeluargaan dengan pejabat pengadilan namun pada dasarnya memang mereka memiliki kapasitas dan kecakapan menjadi seorang hakim tanpa memanfaatkan hubungan kekeluargaan tersebut dalam mengikuti proses seleksi pengangkatan hakim.
"Untuk dapat mencipatakan proses transparan, akuntabel dan adil tersebut adalah meletakkan proses rekruitmen dan pengangkatan hakim melalui kerjasama dua lembaga yaitu MA dan KY," papar pengajar Universitas Jember itu.
Dalam politik, dinasti kepala daerah membawa dampak buruk yaitu tidak terbukanya kesempatan bagi munculnya figur-figur terbaik calon kepala daerah yang memiliki kapasitas, integritas, mau bekerja dan melayani rakyat yang berakibat terhambatnya kemajuan daerah. Sedangakan dalam dinasti pengadilan, mengakibatkan tertutupnya peluang para sarjana hukum yang memiliki kualitas mumpuni, memiliki mentalitas dan moralitas baik untuk menjadi hakim karena kalah bersaing dengan mereka-mereka yang sebenarnya tidak memiliki kemampuan dan kecakapan untuk menjadi hakim, namun karena dinasti pengadilan tersebut mereka bisa menjadi hakim.
"Dinasti di lembaga peradilan jika terus dilanjutkan merupakan bom waktu bagi kepercayaan rakyat kepada pengadilan akibat ketikdakprofesional hakim yang dihasilkan oleh dinasti pengadilan dalam memutus suatu perkara dan lebih parah lagi jika para hakim yang berasal dari dinasti pengadilan tersebut melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim yang marak terjadi belakangan," cetus dosen yang tengah mempersiapkan diri mengikuti short course hukum konstitusi di Jerman itu.
Oleh sebab itu, menurut Bayu, sudah tepat kiranya desain yang disusun oleh pembentuk UU untuk mencegah dinasti pengadilan adalah dengan meletakkan proses rekruitmen hakim di tangan MA dan KY.
"Kenapa Ikahi keberatan dengan adanya KY di seleksi hakim tingkat pertama? Apa karena anaknya takut enggak bisa jadi hakim?" ucap ahli pidana Asep Irawan beberapa waktu lalu.
Gugatan yang diajukan oleh Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) itu masih berlangsung di MK dengan permohonan supaya seleksi hakim hanya dilakukan oleh MA secara mandiri dan tidak melibatkan pihak manapun.
Sumber: http://news.detik.com/read/2015/05/24/104559/2923239/10/ky-harus-dilibatkan-untuk-memutus-dinasti-pengadilan