Pengaturan mengenai sumber daya air mutlak ada, sebab air adalah kebutuhan primer manusia. Oleh sebab itu, pemerintah harus segera menyelesaikan aturan air pascapembatalan UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam menyusun peraturan pengganti undang-undang, pemerintah pasti berpatokan terhadap kepentingan rakyat.
Pada posisi seperti ini bukan berarti peran swasta, terutama pada pengelolaan air bersih, dihilangkan begitu saja. Peraturan pemerintah itu hendaknya tetap mengakomodasi peran perusahaan swasta mengingat pemerintah, baik daerah maupun pusat, belum sepenuhnya dapat mengelola dan memberikan layanan air bersih kepada masyarakat.
Hanya saja, syarat pengusahaan air yang dilakukan oleh perusahaan swasta perlu diperketat sehingga persoalan air tidak memberatkan rakyat. Selain aturan mengenai pengelolaan air bersih, perlu juga dipikirkan terkait perjanjian kerja atau perizinan yang sudah berjalan sebelum putusan MK terjadi.
Dengan demikian, tidak ada persoalan hukum antara perusahaan swasta dengan pemerintah daerah karena adanya peraturan baru. Berkait pengelolaan air, Jakarta sebagai salah satu contoh kasus.
Selain soal pembatalan UU Sumber Daya Air, di Jakarta perusahaan swasta tidak lagi boleh mengelola air minum, seperti termaktub dalam putusan PN Jakpus yang mengabulkan gugatan warga (citizen law suit) atas swastanisasi air minum di wilayah DKI Jakarta. PN Jakarta Pusat mengabulkan sebagian tuntutan warga dan menyatakan bahwa Perjanjian Kerja Sama (PKS) Perusahaan Air Minum (PAM) Jakarta dengan dua operator swasta dinyatakan batal dan tidak berlaku.
Menyikapi hal ini, kita tak bisa menghindar dari kepentingan dan keuntungan. Sejiwa dengan MK yang mendasarkan putusan pada UUD 1945, semua kebijakan berkait dengan air seharusnya berdasarkan kepentingan rakyat. Seandainya pemerintah daerah atau perusahaan daerah belum mampu mengelola maka rakyat juga yang sengsara.
Sebaliknya bila dikelola oleh swasta yang hanya mengedepankan untung dan memberikan tarif tinggi, rakyat juga menderita. Sebab itu, kerja sama dengan swasta bukan hal tabu sambil pemerintah daerah mempersiapkan diri setelah mendapatkan transfer pengetahuan dan teknologi.
Khusus untuk Jakarta, dengan pemimpin, seperti Basuki Tjahaja Purnama, seharusnya pemikiran dan pertimbangan logis demi kepentingan rakyat yang mengemuka. Pemerintah mem-back-uppenuh pihak swasta, bukan demi keuntungan perusahaan itu melainkan demi baiknya pelayanan sehingga masyarakat yang diuntungkan.
Kolaborasi pemerintah daerah-pusat- swasta ini penting untuk mengurai persoalan yang membelit selama ini sehingga memunculkan dualisme peran swasta dan pemerintah atau negara. Persoalan yang perlu dipecahkan adalah pertama, menjamin pasokan air baku. Pemprov DKI Jakarta tak mampu melakukannya sendiri mengingat air baku selama ini berasal dari waduk Jatiluhur, Jawa Barat. Ada Pemprov Jawa Barat serta PT Jasa Tirta II (PJT II) yang berkepentingan dalam pengelolaan jalur air tersebut.
Jaminan pasokan yang diharapkan terdiri dari kualitas maupun kuantitas. Kualitas air baku dari asal sampai ke Jakarta tidak tercemar sedangkan dari sisi kuantitas tetap terjaga meski musim hujan dan panas. Untuk itu, dibutuhkan pengamanan jaringan fisik jalur air baku. Jaringan sekarang yakni Kanal Tarum Barat yang dibangun 1968 harus terus dijaga dan direvitalisasi.
Idealnya saluran berupa pipa. Jaringan tertutup dengan pipa berdiameter 1,8 meter sepanjang 78 kilometer diperkirakan menelan biaya hingga Rp 2,3 triliun. Di luar fisik jaringan, harus ada kebijakan prioritas alokasi air dari PJT II untuk air minum. Selama ini air dari Jatiluhur lebih banyak untuk kepentingan pembangkit listrik, dan irigasi.
Kedua, mengupayakan alternatif sumber air baku. Ketika sumber air dari Jatiluhur berkurang, maka Jakarta memiliki sekurangnya 13 sungai yang berhulu di kawasan Bogor. Air ini seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai sumber air baku.
Kenyataannya, kualitas air dari sungai-sungai di Jakarta begitu buruk. Terlalu banyak materi pencemar yang masuk sungai yang melintas di Jakarta sehingga airnya tak layak untuk diolah menjadi air bersih. Jalan satu-satunya adalah menghilangkan polutan di sungai-sungai yang mengalir di Jakarta sehingga airnya layak diolah menjadi air bersih.
Ketiga, menjamin air baku yang sudah diolah, atau biasa disebut air minum, tidak hilang dalam perjalanan ke konsumen. Air olahan yang tidak menghasilkan uang atau disebut non revenue water mencapai sekitar 45%. Bisa dibayangkan hampir separuh air yang diproduksi hilang baik karena dicuri maupun karena hilang akibat jaringan yang rusak.
Jaminan yang diperlukan adalah dengan pengamanan jaringan terhadap para pencuri air. Penegakan hukum yang lugas dan tegas selama ini belum dilakukan oleh aparat pemerintah.
Bila angka kebocoran itu tertutupi sehingga tidak ada air yang hilang melainkan menjadi uang maka pendapatan perusahaan dari penjualan air bakal meningkat tajam. Efeknya tentu sangat positif bagi keberlangsungan pelayanan air minum yakni tarif air minum akan turun karena volume yang dijual jauh lebih besar atau jaringan distribusi air semakin luas sehingga makin banyak masyarakat yang bakal menikmati air bersih.
Keempat, kebijakan berkait air tanah benar-benar diterapkan baik untuk melindungi struktur tanah dan keberadaan air tanah juga untuk menstabilkan lingkaran harga air minum. Para penyedot air tanah dalam skala besar adalah industri, rumah sakit, hotel dan gedung-gedung tinggi.
Mereka lebih tenang dan senang menyedot sumber daya air ketimbang berlangganan yang berarti membayar air minum dan perusahaan air minum. Padahal dari sisi keekonomian air minum, keberadaan perusahaan besar sebagai pelanggan dengan tarif tertentu bakal menyubsidi pelanggan kecil yakni masyarakat/rumah tangga.
Penyedotan air tanah terjadi karena tidak efektifnya perizinan dan law enforcement atas penggunaan air tanah. Harus diingat bahwa target capaian MDGs 2015 Provinsi DKI Jakarta dalam sektor pelayanan air minum, yaitu 80%. Saat ini baru sekitar 57,5% warga Jakarta yang terlayani air bersih. Untuk mencapai target, pemerintah perlu bantuan swasta. ***
Sumber: http://sp.beritasatu.com/tajukrencana/mengelola-air-untuk-rakyat/87697