Seorang warga negara Indonesia asal Provinsi Maluku, Jack Lourens Vellentino Kastanya mengajukan gugatan terhadap Pasal 55 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Lourens merasa keberatan dengan aturan yang menyatakan pengajuan gugatan ke PTUN hanya diberi rentang waktu 90 hari terhitung sejak diterimanya atau diumumkannya keputusan badan atau pejabat tata usaha negara. Lourens beralasan jarak Provinsi Maluku Utara serta kondisi geografisnya dianggap tidak memungkinkan untuk mengajukan gugatan bila hanya diberi waktu 90 hari.
Pemohon yang hadir tanpa didampingi kuasa hukum menyampaikan latar belakang gugatannya terlebih dulu di persidangan yang dipimpin langsung oleh Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman. Pemohon menjelaskan bahwa sebelumnya ia merupakan PNS di Kejaksaan Tinggi Maluku Utara. Pemohon telah dinyatakan diberhentikan dengan tidak hormat berdasarkan Keputusan Jaksa Agung tertanggal 14 Januari 2013.
Pemohon diberhentikan tidak hormat karena terlibat kasus korupsi dan Pemohon pun telah dijatuhu hukuman pidana penjara selama satu tahun. Pemohon mengaku bahwa saat itu ia tidak memiliki hak untuk mengajukan upaya keberatan administratif maupun banding administratif. Karena itulah, Pemohon kemudian berupaya melakukan gugatan ke PTUN.
Namun, Pemohon menerima surat pemberhentiannya sebagai PNS justru saat Pemohon sedang menjalani hukuman pidana penjara di LP Jailolo, Halmahera Barat. Sebab itulah, Pemohon terlambat mengajukan gugatan ke PTUN yang telah habis tenggat waktunya.
Pemohon pun merasa semakin dipersulit dengan adanya ketentuan Pasal 54 ayat (1) UU PTUN yang menyatakan gugatan sengketa tata usaha negara harus diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat hukum tergugat. Dalam kasus yang dialami Pemohon, tergugatnya adalah jaksa agung yang berkedudukan di Jakarta. “Bagi Pemohon (ke Jakarta) akan membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit dalam melaksanakan proses hukum tersebut. Mengingat sebelum ke Jakarta, Pemohon harus terlebih dahulu ke Ternate. Sedangkan jarak dari Jailolo Kabupaten Halmahera Barat ke Kota Ternate harus ditempuh melalui jalur laut. Sehingga haruslah juga dipertimbangkan kondisi lautan pada saat itu,” tutur Pemohon.
Oleh karena itu, Pemohon menganggap waktu 90 hari sebagaimana diisyaratkan Pasal 55 UU PTUN tidaklah adil. Terutama, bagi warga negara Indonesia yang bermukim di kawasan timur Indonesia yang kondisi geografisnya terdiri dari pulau-pulau kecil.
“Bahwa secra geografis wilayah Indonesia Timur terdiri pulaupulau dan untuk menghubungkan pulau-pulau tersebut hanya dapat dilakukan melalui jalur perbuhungan laut, dan seandainya pun dapat dilakukan melalui perhubungan udara, akan tetapi ketersediaan pesawat sebagai moda transportasi udara sangatlah terbatas karena sebagian besar lapangan terbang atau bandara di Indonesia Timur merupakan lapangan terbang atau bandara perintis yang hanya bisa melayani pendaratan pesawat yang berukuran kecil atau pesatas jenis Cassa dan jadwal penerbangannya pun tidak menentu,” ungkap Pemohon lagi.
Berdasarkan argumentasi yang berhasil disusun Pemohon tersebut, dalam petitum permohoannya Pemohon meminta Mahkamah untuk menyatakan Pasal 55 UU PTUN bertentangan dengan UUD 1945 dan harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Saran Hakim
Seusai mendengar keterangan Pemohon, panel hakim pun memberikan saran yang dapat digunakan untuk memperbaiki permohonan Pemohon. Anwar Usman memulai pemberian saran dengan mengingatkan bahwa pasal yang sama pernah diajukan untuk diuji dan sudah diputus oleh MK pada tahun 2007 dengan nomor perkara 1/PUU-V/2007. Oleh karena itu, Anwar mengingatkan agar Pemohon menjadikan permohonan sebelumnya sebagai perbandingan agar tidak memiliki alasan permohonan yang sama dan batu uji pengujian yang sama.
Selanjutnya Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Maria Farida Indrati memberikan saran yang serupa agar Pemohon memberikan batasan waktu yang dimintakan untuk pengajuan gugatan ke PTUN. Sebab, bila pasal yang diminta Pemohon dikabulkan lalu dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi saja maka akan terjadi kekosongan hukum. Bila pasal a quo hilang maka batasan waktu untuk pengajuan gugatan ke PTUN menjadi tidak ada. Padahal peradilan umum menjunjung asas peradilan yang cepat. Oleh karena itu, panel hakim menyarankan agar Pemohon meminta batasan waktu sesuai yang diinginkan.
“Tetapi memang kalau pasalnya ini dihilangkan, Anda harus melihat bahwa nanti malah timbul ketidakpastian hukum. Jadi berapa bulan itu? Nah, ini yang perlu dipertimbangkan,” saran Maria. (Yusti Nurul Agustin)