Komisi Yudisial (KY) menegaskan, keterlibatan lembaga tersebut dalam proses seleksi hakim merupakan hal yang tepat dan telah sesuai dengan asas hukum yang berlaku. Dalam keterangan yang disampaikan tenaga ahli KY, Selamat Jupri, pada sidang pengujian UU Peradilan Umum, UU Peradilan Agama, dan UU Peradilan TUN di Mahkamah Konstitusi, Rabu (20/5), KY menilai tidak ada aturan hukum yang melarang KY terlibat dalam proses seleksi hakim. Bahkan sebaliknya, Komisi Yudisional harus berperan besar dalam proses seleksi hakim.
Terhadap dalil Pemohon yang menyebut bahwa keterlibatan KY dapat mereduksi kemandirian dan kemerdekaan hakim dalam sistem kekuasaan kehakiman, Selamat mengatakan bahwa hal tersebut merupakan asumsi yang tidak berdasar. “Keterlibatan KY hanya sebatas proses seleksi pengangkatan hakim agung agar transparan, akuntabel, dan partisipatif. Dengan demikian, tidak ada hubungannya dengan maksud untuk mempengaruhi kemandirian dan kemerdekaan hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara,” tegasnya.
Lebih lanjut ia menyakini, Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan yang independen juga telah berinisiatif untuk membangun koordinasi yang baik dengan Komisi Yudisial dalam proses seleksi hakim. Hal ini tercantum dalam rencana jangka panjang Mahkamah Agung.
“Dalam cetak biru Mahkamah Agung RI tahun 2010-2035 pada halaman 51 menyebutkan, MA akan mulai memperbaiki komunikasi dengan KY untuk mempersiapkan tim bersama dalam melaksanakan proses rekruitmen hakim sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman,” ucap Selamat. Hal ini mengindikasikan bukti keseriusan Mahkamah Agung untuk bekerjasama dengan Komisi Yudisial.
Mekanisme ini sekaligus menepis keberatan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) selaku Pemohon yang menyebut bahwa pasal-pasal dalam UU Peradilan Umum, UU Peradilan Agama, dan UU Peradilan TUN tidak memberikan kepastian hukum. Sebaliknya, KY menyakini seluruh UU yang dimaksud telah cukup memberikan jaminan dan kepastian hukum lembaga mana saja yang berwenang terlibat dalam proses seleksi hakim. Sehingga apabila gugatan ini dikabulkan, maka akan menimbulkan ketidakpastian dan kekosongan hukum karena otomatis tidak ada lagi lembaga yang berwenang melakukan seleksi hakim.
Pandangan serupa juga disampaikan anggota Komisi III DPR, Erma Suryani Ranik. DPR berpendapat, peran KY sebagai pihak eksternal dalam proses seleksi pengangkatan hakim Pengadilan Umum, Pengadilan Agama, dan PTUN justru menciptakan pola rekrutmen yang lebih fair dan akuntabel serta lebih obyektif dan tidak memihak sehingga mampu menghasilkan hakim-hakim yang berkualitas dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara.
“Wewenang KY untuk terlibat bersama dengan MA dalam menyeleksi hakim peradilan umum merupakan implementasi lebih lanjut dari pengaturan Pasal 25 UUD 1945 yang menyatakan bahwa syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan UU dan bukan perluasan makna Pasal 24B UUD 1945 sehingga tidak melanggar Lex Certa dan Prinsip Lex Stricta” pungkas Erma.
Di lain pihak, IKAHI bersikukuh menganggap UU Peradilan Umum telah mempengaruhi,merusak, mengganggu, menghambat, mereduksi dan merampas kemandirian dan kemerdekaan hakim dalam sistem kekuasaan kehakiman. (Julie)