Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat mengatakan, putusan MK yang membatalkan Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA) merupakan tanggung jawab MK terhadap Allah SWT.
“Mahkamah Konstitusi adalah penjaga konstitusi, penjaga demokrasi, pelindung hak asasi manusia, pelindung warga negara, hal-hal itulah yang harus dijaga oleh Mahkamah Konstitusi,” kata Arief yang menjadi keynote speaker dalam Seminar Nasional “Tata Kelola Air: Mata Air Menjadi Air Mata” yang diselenggarakan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada Rabu (20/5) siang di Jakarta.
Dikatakan Arief, perihal konsepsi hak menguasai negara termuat dalam Pasal 33 UUD 1945. MK dalam banyak putusannya telah memaknai konsep hak menguasai negara, di antaranya seperti dalam putusan MK tentang pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) beberapa waktu lalu.
Arief menambahkan, MK sebagai peradilan konstitusi memiliki kewenangan yang teramat besar, namun dibalik kewenangan yang besar itu terdapat kelemahan yang tak kalah besarnya. Hal ini disebabkan MK tidak memiliki instrumen untuk melaksanakan putusan MK. Terlebih tidak ada sanksi jika para penerima putusan MK bersikap abai terhadap putusan MK.
Oleh karena itu, ujar Arief, kepatuhan atas putusan MK disandarkan pada kultur taat hukum seluruh komponen bangsa untuk melaksanakan putusan MK sebagai refleksi kepatuhan terhadap konstitusi. Karena sejatinya putusan MK mencerminkan nilai konstitusi sebagai hukum tertinggi yang mesti dipatuhi oleh seluruh komponen bangsa.
Pada kesempatan itu Arief juga menjelaskan bahwa pada prinsipnya MK memutus substansi norma, bukan ayat, pasal atau undang-undang.
“Seluruh substansi norma yang ada dalam undang-undang dibatalkan, dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Termasuk turunan dari undang-undang yang bertentangan itu juga tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat,” tegas Arief.
Pada bagian lain Arief menyampaikan adanya ‘penyakit’ yang sangat kronis pada bangsa Indonesia saat ini dan sangat berbeda dengan pada masa founding fathers. Di antaranya, penyakit yang berkaitan dengan tingkat kepercayaan masyarakat.
“Suasana pada masa founding fathers adalah terciptanya high trust society, tingkat saling percaya masyarakat saat itu luar biasa. Sehingga perbedaan yang terjadi di antara para pendiri bangsa dapat teratasi, dan akhirnya lahir konsep negara Indonesia,” urai Arief.
Berbeda dengan bangsa Indonesia saat ini, yang merupakan low trust society. “Masyarakat kita sekarang ini sudah saling tidak percaya, saling curiga, nah ini penyakit kronis. Kalau membangun bangsa dilandasi rasa saling tidak percaya, ya tidak bisa,” kata Arief.
Oleh sebab itulah, dalam rangka membangun bangsa Indonesia saat ini, Arief mengimbau agar dapat saling menumbuhkan sikap saling percaya, baik yang sesama muslim maupun dengan yang nonmuslim.
Selain itu, menurut Arief, ada ‘penyakit kronis’ lain dari bangsa Indonesia sekarang yaitu disorientasi. “Kalau dulu orientasi bangsa Indonesia jelas, mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia menuju pintu gerbang kemerdekaan jembatan emas untuk kemakmuran bangsa sebagaimana disebutkan dalam pembukaan UUD 1945,” imbuh Arief.
“Tapi sekarang semua komponen bangsa, orientasi hidup bernegara adalah mencari jabatan, mendapat jabatan semata. Apa betul mengabdi untuk kepentingan nusa bangsa? Demi kesejahteraan bangsa? Untuk membangun negeri ini?” kata Arief mempertanyakan. (Nano Tresna Arfana)