Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat menerima audiensi Kementerian Hukum dan HAM serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat terkait Putusan MK Nomor 85/PUU-XII/2013 mengenai pengujian Undang-Undang Sumber Daya Air (UU SDA). Pertemuan tersebut digelar pada Selasa (19/5) di Ruang Delegasi Gedung MK.
Pertemuan tersebut membahas mengenai status Peraturan Pemerintah yang merupakan turunan dari UU SDA yang dibatalkan MK. Selain itu, perwakilan dari kedua kementerian tersebut memohon penjelasan mengenai pemberlakuan kembali UU Nomor 11 Tahun 1974 tentang Air (UU Air). Menanggapi maksud dan tujuan kedatangan tersebut, Airef menjelaskan secara etik ,hakim konstitusi tidak dapat memberikan komentar lebih lanjut terhadap putusannya. Ia mengungkapkan hanya akan memberikan gambaran umum. “Nantinya akan dikeluarkan kajian mengenai putusan Mk oleh Pusatl Penelitian dan Pengkajian MK,” terangnya.
Arief menerangkan bahwa putusan yang diucapkan pada 18 Februari 2015 tersebut, menitikberatkan agar air tidak dijadikan sebagai komoditas. Ia menerangkan PP terakhir sudah menuju pengelolaan air sesuai dengan amanat konstitusi. “Namun jantungnya, yakni UU SDA masih bermasalah, makanya kami batalkan. Sebenarnya hanya ada enam prinsip yang harus dipenuhi. Air itu menguasai hajat hidup orang banyak, maka harus dikelola negara, maka mutlak negara yang harus mengaturnya seperti dalam Pasal 33 UUD 1945,” terangnya.
Sedangkan terkait pengelolaan dengan bantuan swasta, Arief menjelaskan Pasal 33 UUD 1945 juga memperbolehkan swasta mengelola air dan MK menegaskan hal tersebut dalam putusan-putusannya mengenai air. Ia menjelaskan swasta masih dimungkinkan mengelola air, asalkan negara masih mampu mengendalikannya. “Swasta nasional menjadi yang utama. Swasta asing dimungkinkan dengan pertimbangan jika ada pengelolaan dengan teknologi tinggi yang tidak dimiliki oleh negara kita,” paparnya.
Terkait putusan MK yang memerintahkan agar kembali menggunakan UU No. 11/1974, Arief menjelaskan hal tersebut dilakukan agar tidak adanya kekosongan hukum. Bisa didukung dan disinkronkan dengam undang-undang lainnya,” tambahnya.
Dalam kesempatan itu, Arief pun berterima kasih kepada Kementerian Hukum dan HAM yang selalu menjalankan setiap putusan MK. Ia mengetakan tidak seperti MA yang memiliki eksekutor, MK tidak memiliki eksekutor dalam putusannya. “Putusan MK tidak memiliki eksekutornya, jadi kami berterima kasih kepada Kemenkumham selalu mengindahkan putusan MK. Karena putusan MK tidak jalan, jika stakeholder tidak peduli,” tandasnya. (Lulu Anjarsari)