Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rusun) dengan agenda mendengar keterangan ahli Presiden, pada Selasa (19/5), di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang terdafar dengan nomor 21/PUU-XIII/2015 ini diajukan oleh tujuh orang pemilik satuan rusun, Kahar Winardi, Wandy Gunawan, dkk, yang menguji Pasal 74 ayat (1), Pasal 75 Ayat (1) dan Pasal 107 UU a quo. Pada kesempatan itu, Presiden menghadirkan dua orang ahli, yakni Yuliandri dan Suharyono. Kali ini, MK juga menghadirkan mantan Ketua Umum Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI), Setyo Maharjo untuk memberikan kesaksian fakta terhadap pembentukan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS).
Memberikan keterangan ahlinya, Yuliandri menyampaikan bahwa makna kepastian hukum yang adil tidak dimuat secara tegas dalam UUD 1945. Untuk itu, lanjut Yuliandri, selalu muncul pertanyaan terkait dengan definisi kepastian hukum yang adil bagi warga negara dalam pembentukan undang-undang. Menurut Yuliandri, dalam pembentukan aturan, kepastian hukum merupakan tujuan hukum yang terakhir dirumuskan, karena kepastian hukum dianggap sebagai tujuan yang paling mudah. Yuliandri kemudian menyatakan bahwa makna yang relevan untuk mendefinisikan kepastian hukum adalah hukum harus dirumuskan dengan cara yang jelas untuk menghindari kekeliruan dan mudah untuk dijalankan.
“Kepastian hukum harus dipahami sebagai kondisi di mana hukum diterapkan dengan kepastian yang jelas kepada subjek dan objek yang jelas. Hukum memberikan kepastian kepada setiap warga negara yang menjalani proses hukum dan sanksi manakala melanggar atau mereka melanggar hukum. Selain itu kepastian hukum juga mesti disertai dengan adanya proses hukum yang berlaku secara sama kepada siapapun yang melanggar hukum. Makna tersebut cukup relevan dalam memahami ketentuan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dalam kaitannya dengan permohonan ini,” papar Yuliandri, Guru Besar Ilmu Perundang-undangan Universitas Andalas.
Lebih lanjut, untuk menguji kepastian hukum pembentukan PPPSRS, Yuliandri menyatakan perlunya dilakukan penafsiran sistematis terhadap beberapa ketentuan di UU Rusun. Setelah melakukan penafsiran sistematis, Yuliandri menyatakan bahwa norma pembentukan PPPSRS sebagaimana diatur dalam Pasal 75 UU a quo, sulit untuk dinyatakan tidak memiliki kepastian hukum. Sebab, lanjut Yuliandri, norma tersebut telah dirumuskan secara baik dengan porsi pengaturan yang jelas antara subjek-subjek yang diaturnya. Sehingga, norma tersebut tidak dapat dikatakan bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil, sebagaimana dimuat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Kemudian, terkait dengan adanya kasus sulitnya membentuk PPSRS karena tindakan pelaku pembangunan, Yuliandri menyatakan bahwa hal tersebut bukan permasalahan norma, melainkan bentuk ketidakpatuhan terhadap norma yang ada. “Kalaupun seandainya terjadi kasus, sebagaimana digambarkan oleh Pemohon di mana pelaku pembangunan memiliki konflik kepentingan untuk mendapat keuntungan lebih serta dapat merugikan pemilik, mungkin ada konflik kepentingan, melalui upaya menunda-nunda fasilitasi pembentukan P3SRS tidak profesional, dan transparan, dan sebagainya. Sesungguhnya hal demikian bukanlah masalah norma, melainkan sebagai penyimpangan terhadap norma yang ada,” urai Yuliandri.
Menjamin Mutu Produk
Memberikan kesaksian, Setyo Maharjo mengatakan bahwa pelaku pembangunan mempunyai tanggung jawab dan kewajiban terhadap produk, yakni rusun dan apartemen yang dijualnya. Selain itu, pelaku pembangunan juga bertanggung jawab dan wajib menjamin mutu produknya. Dalam hal ini, lanjut Setyo, pelaku pembangunan menjaga produknya termasuk menjamin terbentuknya PPPSRS. “Hal ini sesuai juga dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi yang mewajibkan jaminan produk agar tidak terjadi kegagalan bangunan sejak penyerahan akhir pekerjaan konstruksi sampai dengan 10 tahun ke depan sebagaimana Pasal 25 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999,” tambah Setyo.
Lebih lanjut, Setyo mengatakan bahwa kewajiban pelaku pembangunan untuk memfasilitasi pembentukan PPPSRS adalah sebagai tanggung jawab produsen kepada konsumen. Menurutnya, jika produk mengalami kegagalan, maka ketika pelaku pembangunan membuka lahan rusun baru, produk tidak akan terjual. “Manakala produk itu gagal, otomatis kami membangun lagi tidak bisa dijual, ini yang menjadi masalah besar bagi kami. Nah, mohon Pihak Pemerintah juga nanti bisa mempercepat aturan main yang ada, disertai dengan Perdanya, sehingga tidak terjadi lagi salah persepsi antara penghuni dengan pelaku pembangunan dalam hal ini developer,” ucap Setyo.
Mendalami kesaksian, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menanyakan terkait dengan adanya pihak pelaku pembangunan yang mengambil keuntungan dengan memperpanjang masa transisi. PPPSRS baru bisa dibentuk ketika sudah melewati masa transisi, yakni setelah rusun terjual habis. “Justru dari pihak pengembang atau pelaku pembangunan itu hendak mengambil keuntungan, supaya masa transisi ini selalu jalan terus, karena dari situ, kemudian pengelolaan misalnya berapa mestinya bayar listrik, berapa iuran,” kata Palguna.
Menjawab pertanyaan itu, Setyo mengatakan bahwa bisa dilakukan audit untuk menyelesaikan permasalahan mengambil keuntungan. Lebih lanjut, Setyo juga menyatakan bisa saja permasalahan itu terjadi karena terdapat pelaku pembangunan yang nakal. “Jadi masalah keuntungan bisa diaudit kalau itu, itu masalah teknis dan mudah penterjemahannya. Dengan audit independen saya pikir itu bisa diselesaikan, ya. Ini mungkin saya mohon maaf sebelumnya, di dalam satu keluarga pun ada salah satu anak yang nakal, mungkin di dalam asosiasi kami juga ada satu yang nakal kan, mungkin nanti bisa kita selesaikan,” jawab Setyo. (Triya IR).