Mahkamah Konstitusi (MK) lahir dengan satu tujuan mulia untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negara. Bisa juga dikatakan, MK hadir untuk melindungi hak asasi manusia yang dimiliki oleh warga negara. Hal tersebut disampaikan Peneliti MK, Helmi Kasim saat menerima kunjungan para mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Surakarta pada Selasa (19/5) siang.
“Pernah ada kasus pengujian Undang-Undang Narkotika tentang hukuman mati yang diajukan oleh warga asing. Pemohonnya mendalilkan bahwa hak asasi manusia itu universal. Sehingga kalau ada orang asing yang menganggap hak asasinya dilanggar oleh peraturan perundang-undangan di Indonesia, sementara dia berada di Indonesia atas pelanggaran yang dilakukan di Indonesia, maka yang bersangkutan memiliki hak konstitusional untuk mengajukan pengujian atas undang-undang itu di Mahkamah Konstitusi,” papar Helmi Kasim kepada para mahasiswa.
Tak heran, ungkap Helmi, konstitusi di Indonesia sering disebut juga sebagai konstitusi hak asasi manusia karena konstitusi Indonesia memiliki sangat banyak ketentuan hak asasi manusia, bahkan dicantumkan dalam satu bab khusus. “Itulah salah satu tujuan berdirinya Mahkamah Konstitusi,” imbuh Helmi.
Selain itu Mahkamah Konstitusi juga menjadi penjaga konstitusi. Sebagai penjaga konstitusi, tugas yang diemban Mahkamah Konstitusi adalah memastikan ketentuan-ketentuan yang sudah disepakati dalam UUD oleh seluruh warga negara Indonesia tidak dilanggar oleh undang-undang yang ada di bawahnya.
“Oleh sebab itu, dari mulai pembukaan sampai pasal terakhir konstitusi menjadi kewajiban konstitusional Mahkamah Konstitusi untuk menjaga agar ketentuan-ketentuan itu tidak dilanggar oleh undang-undang yang posisinya berada di bawah Undang-Undang Dasar,” urai Helmi.
Helmi mengutip Teori Stufenbau dari Profesor Hans Kelsen pakar hukum asal Austria. Teori ini biasa juga disebut dengan Teori Tangga, Teori Bertingkat atau Teori Berjenjang. Teori Stufenbau adalah teori mengenai sistem hukum yang menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang, bahwa norma hukum yang paling rendah harus berpegang pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi harus berpegang pada norma hukum yang paling mendasar. Menurut Kelsen, norma hukum yang paling mendasar (grundnorm) bentuknya tidak konkrit (abstrak).
Pada pertemuan itu Helmi juga menuturkan sejarah singkat pengujian undang-undang di Indonesia sejak masa kemerdekaan. Moh. Yamin dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) mengusulkan Balai Agung (Mahkamah Agung) perlu diberi wewenang untuk membanding (menguji) undang-undang. Namun Soepomo tidak setuju karena UUD yang disusun tidak menganut sistem trias politica. Bertahun-tahun kemudian, pasca reformasi, terjadi amandemen UUD 1945. Soal pengujian UU kembali diusulkan, hingga dibentuknya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) pada 13 Agustus 2003.
MKRI memilliki kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, serta wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Hal lainnya, Helmi menyampaikan bahwa sebagai lembaga peradilan, Mahkamah Konstitusi bersifat pasif. “Jadi kita tidak bisa mencari-cari perkara, kita hanya menunggu kalau ada orang yang datang ke Mahkamah Konstitusi berkeberatan terhadap ketentuan tertentu dalam undang-undang dan mendalilkan bahwa ketentuan dalam undang-undang itu, entah satu kata, entah satu frasa, entah satu ayat, entah satu atau beberapa pasal bertentangan dengan hak konstitusionalnya,” tandas Helmi. (Nano Tresna Arfana)