Sidang uji materi Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (19/5) siang dengan agenda perbaikan permohonan. Sidang Perkara No. 47/PUU-XIII/2015 untuk kedua kali ini dimohonkan oleh empat pemerhati jaminan sosial atas nama Yaslis Ilyas, Kasir Iskandar, Odang Muchtar dan Dinna Wisnu.
Dalam persidangan hadir tim kuasa hukum Pemohon yang diwakili oleh Dwi Puteri Cahyawati. “Ada sejumlah perbaikan permohonan, pertama dari sudut teknis. Sebelumnya sudah cukup baik, hanya susunannya sudah diperbaiki lebih sistematis, biar lebih mudah dibaca dan dipahami,” kata Dwi kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.
Selain itu, ujar Dwi, ada bukti tambahan dari Pemohon berkaitan dengan bukti pembayaran pajak. “Karena legal standing kami adalah perorangan warga negara Indonesia yang aktif membayar pajak,” ucap Dwi.
Selanjutnya dari segi subtansi atau pokok permohonan, Pemohon sudah memperkuat argumentasi meski menurut Majelis, secara umum permohonan Pemohon sudah cukup baik. Hal lain, Pemohon sudah memperbaiki petitum sesuai saran Majelis Hakim pada sidang pendahuluan. Bahwa pasal-pasal yang menjadi batu uji tidak perlu disebutkan, tetapi cukup menyebutkan bertentangan dengan UUD 1945.
Menanggapi perbaikan permohonan Pemohon, Patrialis Akbar menilai sudah cukup baik. “Cukup jelas perbaikan permohonan Pemohon. Selanjutnya kami mengesahkan alat bukti dari P1 sampai P9,” ujar Patrialis yang didampingi Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna.
Pada sidang pemeriksaan pendahuluan, Pemohon menyatakan Pasal 21 ayat (2) UU BPJS beserta penjelasannya telah membuka ruang terpilihnya Dewan Pengawas BPJS yang tidak sesuai dengan kehendak rakyat. Masuknya dua unsur pemerintah sebagai dewan pengawas menimbulkan ketidakindependenan pengawasan yang dilakukannya. BPJS merupakan badan hukum publik seperti halnya lembaga pemerintah. Oleh karena itu, Pemohon menilai tidak tepat apabila unsur pemerintah secara khusus mendapat porsi pengawasan. Unsur pemerintah tersebut juga membatasi setiap warga negara yang tidak duduk dalam pemerintahan, tetapi profesional, berpengetahuan, kompeten, dan berkepedulian tinggi terhadap jaminan sosial untuk ikut mengawasi operasional BPJS sebagai badan hukum publik.
Begitu pula dengan dua orang unsur pekerja dan dua orang unsur pemberi kerja. Aturan tersebut juga membatasi setiap warga negara yang berkeinginan menjadi dewan pengawas yang tidak mempunyai afiliasi dalam suatu organisasi pekerja maupun pengusaha. Adapun unsur tokoh masyarakat dinilai merupakan unsur yang sangat rawan menjadi akal-akalan dalam memilih seorang menjadi dewan pengawas, karena terdapat kemungkinan yang dipilih merupakan rekan atau sejawat yang juga merupakan seorang tokoh masyarakat, tetapi tidak memiliki pengetahuan, kompetensi, dan kepedulian dalam bidang jaminan sosial.
Pemohon juga mengkritisi Pasal 25 ayat (1) huruf f UU BPJS yang mengatur batas usia jabatan Dewan Pengawas dan anggota direksi BPJS. Pemohon menilai, jabatan tersebut bukanlah jabatan karir pekerjaan yang dibatasi oleh usia tertentu. Jabatan-jabatan tersebut adalah jabatan publik sehingga pembatasan paling rendah usia 40 tahun dan paling tinggi usia 60 tahun untuk menjadi anggota Dewan BPJS dan Direksi BPJS, melanggar hak-hak penduduk yang berusia kurang dari 40 tahun dan berusia lebih dari 60 tahun. Pekerjaan pengawasan bersifat profesionalitas, maka yang dibutuhkan adalah keahlian yang tidak bergantung dengan batasan usia sepanjang masih mampu secara jasmani dan rohani. Terlebih penjelasan Pasal 25 huruf e, UU No. 24 Tahun 2011 menyatakan “Kriteria kualifikasi calon anggota Dewan Pengawas atau calon anggota Direksi diukur dari jenjang pendidikan formal. Kriteria kompetensi calon anggota Dewan Pengawas atau calon anggota Direksi diukur berdasarkan pengalaman, keahlian, dan pengetahuan sesuai dengan bidang tugasnya”.
Selain itu Pemohon pun menggugat Pasal 41 ayat (2), Pasal 42 dan Pasal 43 ayat (2) UU BPJS karena pemisahan aset Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dengan aset Dana Jaminan Sosial (DJS) dalam hal penggunaan dan pemanfaatannya dinilai menimbulkan konflik kepentingan dan menimbulkan potensi penyalahgunaan. Pemisahaan aset tersebut dinilai berpotensi menjadikan Direksi BPJS akan merasa aset BPJS sebagai miliknya dan hanya aset DJS yang menjadi milik peserta untuk membayar manfaat jaminan sosial. Padahal sebagai badan hukum publik, sebagaimana juga lembaga pemerintah, pemisahan aset ini tidak perlu dan tidak boleh dipisahkan karena aset-aset pemerintah juga merupakan aset rakyat. (Nano Tresna Arfana)