Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 20 April 2006, kembali melakukan pengujian UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung (UU MA). Sidang pemeriksaan pendahuluan ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H., dengan para anggota Hakim Konstitusi Prof. H.A.S. Natabaya S.H., LL.M. dan Hakim Konstitusi H. Achmad Roestandi, S.H.
Sidang yang dimulai pada pukul 10.00 WIB menghadirkan Pemohon, F.X. Cahyo Baroto, dengan kuasa hukumnya H. Azis Ali Tjasa, S.H., M.H. menyatakan bahwa hak konstitusional Pemohon telah dirugikan dalam satu perkara perdata, dimana Pemohon telah memiliki putusan PK Mahkamah Agung. Namun perkara yang tidak dijelaskan dengan rinci itu, disebutkan menimbulkan putusan yang berbeda atas hal yang sama di pengadilan negeri yang sama. Hal ini menurut Pemohon, berakibat pada timbulnya pelaksanaan eksekusi yang tumpang tindih, dua kali eksekusi oleh pengadilan yang sama.
Pada intinya, menurut Pemohon, bahwa menurut ketentuan kewenangan MA yang melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim yang tidak benar. Namun berdasarkan ketentuan di dalam UUD 1945 yang berhak melakukan pengawasan terhadap hakim adalah Komisi Yudisial (KY). Tetapi, di dalam UU KY sendiri, lanjut Pemohon, terdapat tumpang tindih pelaksanaan fungsi pengawasan antara KY dengan Ketua Mahkamah Agung.
Bahkan sebaliknya pengawasan yang dilakukan oleh KY terhadap para hakim berdasarkan laporan dari masyarakat bahwa hakim tertentu telah melakukan perbuatan yang tidak semestinya atau melanggar peraturan perundang-undangan berlaku, maka hasil pemeriksaan KY harus direkomendasikan, harus dilaporkan kepada Ketua Mahkamah Agung dan direkomendasikan atau ditembuskan kepada Presiden.
“Seharusnya KY melaporkan kepada Presiden atau minta kepada Presiden supaya dijatuhi tindakan tertentu terhadap hakim-hakim atau hakim agung yang melakukan pelanggaran undang-undang atau misalnya melakukan korupsi”, ungkap Pemohon. Sehingga dengan adanya ketentuan ini praktis undang-undang yang menentukan pengawasan terhadap hakim atau hakim agung yang dilakukan oleh KY tidak ada artinya sama sekali, lanjut Pemohon. Akibat yang seperti itulah yang terjadi karena pengawasan MA terhadap hakim-hakim yang berada di bawahnya adalah tidak dilakukan secara benar dan obyektif, tetapi justru malah melindungi hakim-hakim yang melakukan kejahatan atau melakukan pelanggaran. Menurutnya, Hal inilah yang menyebabkan pengadilan semakin terpuruk. Sehingga Pemohon menuntut agar pasal-pasal mengenai MA dan KY tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hokum yang mengikat.
Menurut ketua sidang Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna S.H., M.H., sebenarnya MK telah pernah menguji materi perkara yang sama dengan permohonan perkara untuk Nomor 017/PUU-III/2005 dengan pihak yang sama dengan yang sekarang, tetapi pada waktu itu sebagai Pemohon materiil. Putusan MK sendiri pada saat itu adalah NO (niet ontvankelijk verklaard). Hakim Konstitusi Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LL.M. menanyakan pandangan Pemohon mengenai keefektifan penghapusan pasal-pasal di dalam UU MA dan UU KY, jika memang terbukti bertentangan dengan UUD 1945. selain itu, Hakim Konstitusi Natabaya juga melihat tidak adanya causal verband, dari keterangan yang diberikan oleh Pemohon, sesuai yang disyaratakan oleh Pasal 51 UU MK.
Pemohon juga mengaitkan antara Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2002 yang dikeluarkan oleh MA kepada Polda adalah tidak sah. Hakim Konstitusi Natabaya melihatnya bahwa tidak ada ketentuan undang-undang yang dilanggar atas keluarnya SP3 (Surat Penghentian Proses Penyidikan) yang dikeluarkan oleh pihak yang berwajib, sebagai tanggapan atas Surat Edaran dari MA tersebut. Hal yang sama juga disetujui oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna. I Dewa Gede Palguna menambahkan, bukan kewenangan MK untuk menguji Surat Edaran yang dikeluarkan oleh MA tersebut.
Sementara Hakim Konstitusi H. Achmad Roestandi, S.H. menyatakan ada tiga hal yang perlu diketahui oleh Pemohon yaitu, pertama, terkait dengan Pasal 57 UU MK mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Putusan MK tidak dapat membuat atau mengusulkan rumusan lain. Kedua, MK hanya berwenang untuk menguji undang-undang terhadap UD 1945, tidak mempunyai wewenang untuk menilai tentang apakah suatu undang-undang itu efektif atau tidak. Ketiga, MK juga tidak bisa menilai alternatif suatu kebijakan yang dipilih dalam menentukan pilihan.
Sidang Panel pemeriksaan pendahuluan ini ditutup pada pukul 10.50 WIB dengan kewajiban bagi Pemohon untuk memperbaiki dan melengkapi permohonannya. (Ardiansyah S.)