Pengaturan pengujian Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) dan Perda mengandung problematika pada tataran normatif dan praksis. Pada tataran normatif, ada ketidaksesuaian antara norma pada tataran konstitusi, khususnya Pasal 24A ayat 1 dengan norma pada UU No 32 tahun 2004 tetang Pemerintahan Daerah.
"Agenda mendesak yang perlu dilakukan adalah rekonstruksi pengaturan pengujian Raperda dan Perda agar sejalan dengan amanat konstitusi," tegas Umbu Rauta SH MHum, saat mempertahankan disertasinya dalam Ujian Terbuka Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, di ruang sidang utama Program Doktor Undip, Jl Imam Bardjo, Rabu (13/5) lalu.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga itu mempertahankan disertasi berjudul "Rekonstruksi Sistem Pengujian Rancangan Peraturan Daerah dan Peraturan daerah Sesuai Amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945", di depan tim penguji yang dipimpin Prof. Dr. R. Benny Riyanto, SH., MH.CN dan Prof. Dr. FX. Adji Samekto, SH., M.Hum (sekretaris).
Penguji beranggotakan Prof. Dr. Rahayu, SH., M.Hum, Dr. Lita Tyesta ALW, SH., M.Hum, Hasyim Asy''ari, SH., MSi., Ph.D, serta Prof. Dr. Yos Johan Utama, SH.M.Hum sebagai Promotor dan Dr. Retno Saraswati, SH.M.Hum (Co. Promotor). Sedangkan penguji eksternal yakni Ketua MK Prof. Dr. Arief Hidayat, SH., MS dan Dr. Nimatul Huda, SH., M.Hum.
Umbu memaparkan, dalam jangka panjang, pengujian peraturan perundang-undangan secara terpadu dan komprehensif melalui gagasan penyatuatapan pengujian ke Mahkamah Konstitus (MK) merupakan agenda mendesak yang harus diterapkan. Oleh karenanya, perlu perubahan kelima terhadap UUD NRI 1945, khususnya Pasal 24A ayat (1) juncto Pasal 24C ayat (1). Implikasi lainya, yakni perubahan konstitusi yaitu perubahan UU Kekuasaan Kehakiman, UU Mahkamah Agung, dan UU Mahkamah Konstitusi.
"Perlu adanya konstruksi sistem pengujian perda dalam UU 32 Tahun 2004 juncto UU No. 28 Tahun 2009 yang belum sesuai dengan amanat UUD NRI 1945 yaitu Pertimbangan faktual dan historis, berkenaan dengan adanya perda yang pembentukannya melampaui kewenangan daerah serta materi muatan perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi," tegas Umbu.
Pertimbangan filosofis-konstitusionalnya, menurut Umbu, berkenaan dengan politik hukum yang dianut dan dikembangkan dalam relasi pemerintahan daerah dengan pemerintah pusat, yaitu Pasal 1 ayat (1) juncto Pasal 4 ayat (1) juncto Pasal 18 ayat(1) UUD NRI 1945.
Ditegaskan, pengaturan dan praktik pengujian raperda dan perda di saat berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 juncto UU No. 28 Tahun 2009 belum menjamin keterpaduan dan keserasian antara perda dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sebagaimana tergambar dari beberapa kenyataan, yakni adanya keragaman pengaturan dan praktik evaluasi (executive preview) sebagai dampak dari adanya peraturan pelaksanaan dari UU No. 32 Tahun 2004, baik berupa peraturan pemerintah, peraturan menteri, maupun surat edaran menteri. Keragaman dimaksud berkenaan dengan perluasan lingkup evaluasi, bentuk hukum hasil evaluasi, serta perluasan jenis executive preview.
Adanya keragaman pengaturan dan praktik klarifikasi (executive review), sebagaimana tampak dari perluasan dasar pengujian, bentuk hukum hasil klarifikasi, tindak lanjut hasil klarifikasi, dan belum dipenuhinya jangka waktu klarifikasi.
Menurut Umbu, rekonstruksi sistem pengujian raperda dan perda mengacu pada dua hal, yakni jenis pengujian dan hukum acara pengujian. Pertama, terkait jenis pengujian mencakup: evaluasi (executive preview), klarifikasi (executive review) dan pengujian melalui lembaga peradilan (judicial review).
Adapun pertimbangan dari gagasan tersebut yaitu menjamin satu kesatuan sistem pengaturan pengawasan terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang (dengan dasar pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi) sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945 maupun beberapa undang-undang.
Selan itu, menegakkan salah satu asas dalam pembentukan materi perundang-undangan yaitu lex superiori derogat legi inferiori. Menegakkan hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011, dimana posisi UU di bawah UUD NRI 1945. Menghindari adanya konflik kepentingan di kalangan pemerintah pusat ketika ada perda yang materi muatannya bersinggungan dengan kewenangan pusat dan daerah, serta menghindari dominasi pertimbangan politik ketimbang pertimbangan yuridis saat pemerintah pusat melakukan pengujian perda.
Kedua, terkait hukum acara pengujian berkenaan dengan perubahan (atau bahkan pergantian) Perma No. 1 Tahun 2011, khususnya materi atau substansi tentang pengujian perda. Adapun pokok materi perubahan atau pergantian yaitu berkenaan dengan: perluasan lingkup pemohon, pembentukan MHK di lingkungan MA dan PT TUN, penegasan dasar pengujian, maupun bentuk hukum dan alternatif hasil pengujian serta materi lainnya seperti proses pendaftaran permohonan, jangka waktu pemeriksaan permohonan dan sifat persidangan.
Untuk itu, Umbu mengusulkan kepada Pembentuk UU, yakni Presiden dan DPR, untuk segera mengagendakan perubahan beberapa peraturan perundang-undangan terkait pengujian raperda dan perda, yaitu UU No. 32 Tahun 2004 (yang saat ini diganti dengan UU No. 23 Tahun 2014) juncto UU No. 28 Tahun 2009, utamanya materi yang berkenaan dengan jenis pengujian raperda dan perda.
Dampak lanjutan perubahan kedua UU tersebut yaitu Mendagri segera merubah Permendagri No. 1 Tahun 2014. UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Mahkamah Agung, terkait dengan gagasan pembentukan Majelis Hakim Khusus di lingkungan MA dan PT TUN yang bertugas menguji perda provinsi dan kabupaten/kota. Dampak perubahan kedua UU tersebut, MA perlu merubah atau mengganti Perma No. 1 Tahun 2011.
Umbu mengusulkan pula, perlu digalakkan bimbingan teknis atau pendidikan dan pelatihan (capacity building) yang terencana dan berkualitas bagi aparatur pemerintah daerah dan anggota DPRD terkait pembentukan perda (legal drafting), agar secara dini mencegah munculnya perda bermasalah, baik masalah prosedural maupun masalah substansi.
Dalam jangka penjang, pengujian peraturan perundang-undangan secara terpadu dan komprehensif melalui gagasan penyatu-atapan pengujian ke MK merupakan agenda mendesak. Oleh karenanya, perlu perubahan kelima terhadap UUD NRI 1945, khususnya Pasal 24A ayat (1) juncto Pasal 24C ayat (1). Implikasi perubahan konstitusi yaitu perubahan UU Kekuasaan Kehakiman, UU Mahkamah Agung, dan UU Mahkamah Konstitusi.
Studi atau kajian tentang rekonstruksi sistem pengujian raperda dan perda sesuai amanat UUD NRI 1945, menurut Umbu, membawa implikasi baik teoretis dan praktis. Adapun implikasi teoretis yaitu Pembinaan dan pengawasan merupakan keniscayaan dalam relasi pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah dalam sebuah negara yang bersusunan kesatuan (unitary state).
Pengujian (review) raperda dan perda merupakan salah satu aspek pembinaan dan pengawasan pemerintah pusat terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Pengujian (review) raperda dan perda merupakan implikasi dianutnya ajaran supremasi konstitusi dan prinsip negara hukum yang demokratis.
Pengujian itu dimaksudkan untuk menjaga koherensi, konsistensi, dan harmonisasidi antara peraturan perundang-undangan sehingga dapat menjamin adanya sinkronisasi dan harmonisasi baik vertikal maupun horisontal.
Pergeseran pengaturan pengujian raperda dan perda merupakan upaya untuk mewujudkan amanat atau spirit konstitusi, utamanya menghindari ketimpangan atau perjumbuhan pengaturan (legal gap) antara materi konstitusi dengan peraturan perundang-undangan di bawah konstitusi.
Sedangkan implikasi praktisnya, yaitu pergeseran pengaturan pengujian raperda dan perda membutuhkan political will dari legislator untuk mengubah beberapa undang-undang, utamanya UU No. 32 Tahun 2004 (yang saat ini diganti dengan UU No. 23 Tahun 2014) juncto UU No. 28 Tahun 2009, UU Kekuasaan Kehakiman, UU Mahkamah Agung, dan peraturan pelaksanaan lainnya (baik Perma No. 1 Tahun 2011 dan Permendagri No. 1 Tahun 2014).
"Pemerintahan daerah (provinsi, kabupaten/kota) dan DPRD wajib melakukan pembenahan dalam hal kompetensi untuk membentuk perda yang berkualitas, baik dari segi formil dan materil. Sedangkan MPR perlu mengadendakan perubahan kelima terhadap UUD NRI 1945, untuk mewujudkan gagasan penyatu-atapan pengujian peraturan perundang-undangan ke MK," paparnya.
Berhasil mempertahankan disertasinya, pria kelahiran Kabonduk (Sumba Barat) 1 September 1971 ini akhirnya dinyatakan lulus dengan predikat Cum Laude. Suami dari Gerarda Hapsari Paramita, SE dan ayah dari Gerald Delano Umbu S. Djurumana dan Robertus Priatmaja Umbu S. Pateduk ini memperoleh Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,76 setelah menempuh studi selama 3 tahun 8 bulan. [142/N-6]
Sumber: http://sp.beritasatu.com/home/umbu-rauta-perlu-perubahan-kelima-kali-uud-nri-1945/87174