Fenomena pemilihan kepala daerah (pilkada) belakangan ini masih terus menjadi topik yang menarik dan hangat untuk dibicarakan di berbagai forum ilmiah dan akademis. Bahkan pemakaian istilah pilkada dan pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) masih menjadi perdebatan. Istilah “pilkada” mengindikasikan bahwa pengisian jabatan kepala daerah masuk rezim pemerintahan daerah, sedangkan istilah “pemilukada” mengindikasikan bahwa proses pengisian jabatan kepala daerah lebih cenderung menjadi bagian dari rezim pemilihan umum. Sementara apabila dilihat dari perspektif penyelenggaraan, pengisian jabatan kepala daerah juga termasuk dalam rezim pemilu karena dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum. Kemudian yang menjadi pertanyaan, siapa yang berhak mengadili jika terjadi sengketa dalam tahapan pemilihan kepala daerah?
Demikian disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat menjadi keynote speaker kegiatan Seminar Nasional bertajuk “Mengawal Kedaulatan Rakyat dalam Penyelesaian Sengketa Pilkada” yang diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis ke-33 Universitas Darul Ulum Islamic Center Sudirman (UNDARIS), Semarang (13/5).
Arief menjelaskan, MK pernah memutus bahwa penyelesaian sengketa pilkada bukan merupakan kewenangan MK karena masuk ke dalam rezim pemerintahan daerah. Namun, lanjut Arief, selama masih belum ada lembaga khusus yang berwenang menangani sengketa pilkada, maka MK masih berwenang menangani sengketa pilkada. “Ada satu sisi yang kemudian harus kita cermati bersama, selama belum lembaga khusus yang berwenang menangani sengketa Pilkada, maka MK masih berwenang menangani sengketa Pilkada. Dan jika dilihat dari sisi mudarat-nya, memang hanya MK yang dinilai tepat menyelesaikan permasalahan ini,” imbuh Arief.
Lebih lanjut, Arief mengatakan bahwa potret penyelenggaraan pemilu saat ini amat mengkhawatirkan, utamanya pilkada. Penyelenggaraan pilkada kerap ditandai oleh praktik politik uang, konflik horizontal, kecurangan, dan penyalahgunaan fasilitas negara. Akibatnya, penyelenggaraan pilkada langsung kembali dipertanyakan. “Ada gagasan yang menghendaki agar kita menyudahi proses pilkada langsung karena dinilai tidak efektif dan efisien. Menurut Saya, pemilihan kepala daerah oleh DPRD tidak serta merta menghapus politik transaksional dan praktik politik uang. Malahan mekanisme ini akan menguntungkan kalangan elit karena justru akan melahirkan oligarki kekuasaan baru yang berpusat di DPRD,” ujarnya.
Rendahnya Kepercayaan
Ditegaskan pula oleh Guru Besar Hukum Tata Negara Undip tersebut, bahwa Indonesia saat ini sedang mengalami kehilangan orientasi dalam mengabdi bagi kemajuan bangsa dan negara. Tanpa visi dan misi yang sama serta rasa saling percaya, tidak akan mudah untuk hidup bernegara. “Indonesia saat ini sedang mengalami kegaduhan. Ada suasana batin yang berbeda antara pendiri bangsa dan kita sekarang ini. Masyarakat sekarang hidup dengan tingkat kepercayaan rendah atau low trust society. Padahal rasa saling percaya adalah kunci persatuan dan kesatuan bangsa,” jelas Arief.
Berdasarkan kenyataan tersebut, Arief mengatakan bahwa setiap komponen bangsa sesungguhnya memiliki kewajiban untuk mengambil tanggung jawab dan peran. Tanggung jawab dan peran ini dilakukan sesuai dengan posisi dan kedudukan masing-masing untuk turut menumbuhkan budaya sadar konstitusi demi kemajuan bangsa dan negara.
“Kita sudah membangun struktur hukum yang baik, termasuk pilkada. Kita sudah punya KPU, Bawaslu, DKPP, bahkan MK. Tapi kenapa masih menjadi masalah, hal ini karena kita lupa membangun kultur hukum yang baik, yaitu persepsi yang bisa membangun kesadaran hukum yang baik, siap menang kalah dengan fair,” ujar Arief. “Kalau kita membangun sistem pemilu yang baik, kultur hukum juga harus mendukung ke arah yang benar. Kalau memang sudah ditentukan oleh hukum, semua harus mematuhinya. Penegakkan hukum yang baik, harus melalui kultur yang baik. Ikut Pilkada harus siap menang dan siap kalah, jangan menang-menangan,” tambahnya.
Di akhir paparannya, Arief menghimbau agar masyarakat kembali menumbuhkan rasa saling percaya dan lebih mengutamakan kepentingan bangsa daripada kepentingan pribadi. “Tujuan visi misi nasional-lah yang menyatukan kita, sehingga perbedaan apapun itu harus disingkirkan. Kita dapat belajar bagaimana The Founding Fathers mengajarkan kita tentang mengutamakan kepentingan bangsa ketimbang kepentingan praktis. Indonesia yang sedang kehilangan orientasi, sedang dihinggapi oleh distrust, rasa tidak saling percaya, harus dikembalikan. Kedepan kita harus melakukan perbaikan dan semoga bangsa ini dapat kembali menjalankan demokrasi dengan sebaik-baiknya,” tutupnya. (Dedy. R. Ramly)