WARTA KOTA, PALMERAH - PERDEBATAN tentang lembaga peradilan apakah berwenang menilai keabsahan penetapan tersangka atau tidak akhirnya mendapat jawaban.
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan Bachtiar Abdul Fatah, karyawan PT Chevron Pacific Indonesia, yang menguji Pasal 1 Angka (14), Pasal 17, Pasal 21 Ayat (1), dan Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap Pasal 1 Ayat (3), Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28I Ayat (5) UUD 1945.
MK berpendapat, lembaga praperadilan berwenang memutus keabsahan penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan sebagai objek praperadilan.
Pasal 77 Huruf (a) KUHAP dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 jika tidak dimaknai praperadilan dapat memeriksa ketiga tindakan penyidik tersebut.
Penyidik memang memiliki serangkaian tindakan mengurangi hak asasi manusia (HAM) seseorang atas nama negara.
Namun, proses hukum tersebut tidak boleh mengabaikan prinsip hak atas kepastian hukum yang adil.
MK menyatakan, praperadilan menjadi tempat bagi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang sangat mungkin terjadi ketika menetapkan tersangka.
Namun, MK mengingatkan, perlindungan terhadap hak tersangka tak serta-merta diartikan bahwa yang bersangktan tidak bersalah.
Dalam putusan tersebut, tiga hakim konstitusi, yakni I Dewa Gede Palguna, Muhammad Alim, dan Aswanto, mengajukan pendapat berbeda.
Ketiganya berpendapat, MK seharusnya menolak permohonan Bachtiar.
Putusan MK bersifat final dan mengikat. Aparat penegak hukum wajib mematuhi putusan tersebut.
Putusan ini memberikan kepastian hukum bagi polemik praperadilan kasus Budi Gunawan.
Putusan ini dapat menjadi refleksi bagi penyidik KPK dan Polri untuk lebih berhati-hati dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Pada prinsipnya, tersangka tetap memiliki hak-hak yang harus dilindungi juga oleh negara sebagaimana diamanatkan UUD 1945.
Dalam menegakkan hukum diperlukan prosedur. Prosedur itu adalah tolok ukur untuk menilai apakah dalam penegakan hukum tersebut sudah sesuai dengan prinsip dan nilai kepastian hukum yang adil.
Dalam konteks ini, untuk menegakkan hukum pidana dan perlindungan hak-hak konstitusional diperlukan prosedur, yakni KUHAP sebagai tolok ukur.
Kita patut memberikan apresiasi kepada MK sebagai penafsir tunggal konstitusi. Prinsip negara hukum yang telah diadopsi oleh UUD 1945 (Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945) meletakkan prinsip bahwa setiap orang memiliki HAM, yang dengan demikian mewajibkan orang lain, termasuk negara, untuk menghormatinya.
Kewajiban negara untuk menegakkan dan melindungi HAM sesuai prinsip negara hukum yang demokratis mengharuskan pelaksanaan HAM dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 28I Ayat (5) UUD 1945).
Terkait dengan penegakan dan perlindungan HAM yang merupakan hak konstitusional berdasarkan UUD 1945, maka dalam proses peradilan pidana yang dialami seseorang haruslah mendapatkan kepastian hukum yang adil (Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945).
Negara melalui aparaturnya berwenang menegakkan hukum kepada siapa saja yang bersalah. Namun, di sisi lain aparatur negara juga berkewajiban untuk memberikan perlindungan kepada warga negaranya.
Tidak ada pilihan lain tatkala negara berhadapan dengan dilema ini, kecuali negara memegang teguh prinsip keadilan.
Saya akan menutup dengan refleksi dari salah seorang pakar filsafat hukum termasyhur, Gustav Radbruch: jika hukum positif isinya tidak adil dan gagal melindungi kepentingan rakyat, maka undang-undang seperti ini adalah cacat secara hukum dan tidak memiliki sifat hukum.
Menurut Radbruch, eksistensi hukum itu pada prinsipnya untuk menegakkan keadilan.
Benny Sabdo,
Mahasiswa Hukum Tata Negara Pascasarjana UI, Presidium Pusat ISKA
Sumber: http://wartakota.tribunnews.com/2015/05/12/kepastian-hukum-yang-adil?page=4