Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menyelenggarakan Sidang Perkara Nomor 003/PUU-IV/2006 Pengujian Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) terhadap UUD 1945 yang dimohonkan oleh Ir. Daud Djatmiko, Selasa, 18 April 2006 jam 10.00 WIB bertempat di Ruang Sidang MK lantai 1 Jl. Medan Merdeka Barat No. 7. Agenda sidang ini adalah sidang pleno mendengarkan keterangan pemerintah, DPR RI, dan ahli dari Pemohon.
Ir. Daud Djatmiko selaku Pemohon dalam perkara ini tidak dapat hadir dalam sidang karena sedang menjalani tahanan terkait dengan penerapan UU PTPK. Daud diwakili oleh kuasa pemohonnya yaitu: Abdul Razak Djaelani, S.H., dkk sedangkan pihak pemerintah diwakili Menteri Hukum dan HAM Dr. Hamid Awaludin, S.H., Direktur Litigasi Depkumham Qomarudin, S.H., M.H., Mualimin S.H.,M.H., dan Staff Litigasi Depkumham A. Jafri, S.H.DPR tidak hadir karena sedang reses.
Seperti yang sudah diutarakan dalam sidang Pemeriksaan Pendahuluan sebelumnya, Daud yang diwakili kuasa hukumnya dalam kesempatan ini meminta agar materi muatan dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Penjelasan Pasal 3, Pasal 15 dan Penjelasan Pasal 15 UU PTKP dihapuskan. Dalam sidang ini, kuasa Daud juga meminta meminta MK untuk mengadakan permohonan provisi. Terkait dengan permohonan provisinya itu, Daud juga meminta agar Mahkamah Agung memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Timur melalui Pengadilan Tinggi DKI Jakarta untuk menangguhkan sementara proses persidangan Pemohon sampai adanya putusan MK tentang perkara ini.
Menanggapi hal itu, ketua sidang kali ini Hakim Konstitusi Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H. menyatakan, sesuai dengan rapat Pleno Hakim MK, MK tidak memiliki kewenangan untuk memutus permohonan provisi. Dalam pengajuan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 tidak mengenal upaya hukum putusan provisi berkenaan dengan penangguhan penahanan, kata Laica.
Senada dengan itu, Hakim Konstitusi Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LL.M. menjelaskan, dalam pemeriksaan mengenai pengujian UU terhadap Undang-Undang Dasar tidak dikenal mengenai provisi. "Tetapi mengenai sengketa mengenai kewenangan terhadap perselisihan antarlembaga negara itu dikenal, kata Natabaya.
Pihak Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaluddin menyatakan, provisi ada dalam rezim KUHAP dan bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Sehingga masalah permohonan provisi ini bukan pada tempatnya, kata Hamid.
Menanggapi permohonan pengujian Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK oleh Pemohon, Hamid menyatakan, perumusan delik formil dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK dimaksudkan untuk mempermudah proses pembuktian tindak pidana korupsi. Karena terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut sudah merupakan tindak pidana korupsi yang selesai tanpa harus ada akibat yang ditimbulkan berupa kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.
Menurut Hamid, perumusan delik formil dalam tindak pidana korupsi oleh pembuat undang-undang juga dimaksudkan untuk membangun sistem yang kuat dalam rangka mencegah dan memberantas korupsi. Dengan ancaman hukuman yang demikian tinggi diharapkan setiap orang akan menghindarkan diri untuk melakukan hal-hal yang mengarah pada tindak pidana korupsi sehingga fungsi preventif Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bisa lebih efektif, kata Hamid.
Lebih lanjut hamid menyatakan, pemerintah berpendapat bahwa tidak terdapat dan atau telah timbul kerugian terhadap hak dan atau kewenangan konstitusional Pemohon atas keberlakuan UU PTPK. Oleh sebab itu, kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dalam permohonan pengujian ini tidak memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Dengan demikian, kata Hamid, pemerintah memohon agar Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima. Namun demikian, apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi RI berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya, ujar Hamid.
Sidang berikutnya akan kembali dilaksanakan untuk mendengarkan keterangan DPR sebagai legislator dari UU PTPK. (Mutia A., Luthfi W.E.)