Jakarta, HanTer - Ketua Pusat Studi Konstitusi dan Anti Korupsi (Pusaka) UPH, Jamin Ginting, menyatakan, revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak perlu mengakomodir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai penetapan tersangka sebagai objek praperadilan. Sebab, sebutnya, yang sangat diharapkan adalah perubahan yang sinergi antara KUHAP dan KUHP.
\"DPR tidak bisa merubah hanya satu pasal saja untuk membuat UU pasal perubahan. Padahal sekarang rancangan perubahan KUHAP sudah ada dan salah satu isinya juga penetapan tersangka akan menjadi kewengan praperadilan. Sehingga saya yakin DPR tidak akan membicarakan itu,\" kata Jamin Ginting kepada Harian Terbit, Minggu (10/5/2015).
MK telah memutuskan memperluas objek praperadilan sebagaimana diatur di dalam Pasal 77 ayat (a) KUHAP yang mencakup penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan untuk diperiksa keabsahannya.
Hal tersebut dengan mempertimbangkan bahwa penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang di dalamnya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang dari penyidik yang termasuk dalam perampasan hak asasi seseorang.
Selain itu, MK juga telah mengkoreksi ketentuan Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) dengan menambahkan frasa 'minimal dua alat bukti' untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Jamin mengapresiasi putusan MK tersebut karena memang dampak penetapan tersangka pada beberapa ketentuan saat ini menghilangkan kebebasan tersangka seperti pencekalan, pemberhentian sementara dan tidak dapat dipilih dalam jabatan tertentu.
Namun, tegasnya, banyak pasal-pasal dalam KUHAP yang harus dipelajari DPR dan banyaknya tarik menarik kewenangan yang menjadi perdebatan mengakibatkan beberapa instansi cendrung mengharapkan status qou.
Selain itu, tambahnya, hak penyelidikan dan penuntutan dalam tindak pidana khusus seperti tipikor apakah diatur dalam ketentuan umum KUHAP perihal jenis-jenis tindak pidana dan apakah hukuman uang sebagai pengganti menjadi pidana pokok.
\"Jika mau secara menyeluruh (revisi) pasal-pasal perubahan yang sudah ada naskah akademiknya,\" himbaunya.
Sementara itu, Pakar Hukum Pidana dari UPH Agus Budianto mengatakan, putusan MK tersebut perlu diakomodir dalam revisi KUHAP. Sebab, putusan MK sudah merupakan sebuah penemuan hukum yang setidaknya ada dua substansi yaitu dua alat bukti dalam penahanan, penangkapan dan penetapan tersangka sebagai objek pra peradilan yang selama ini masih ada kekosongan hukum jika hanya merujuk pada pasal 77 KUHAP saja.
Belum lagi, revisi KUHAP sudah dilakukan pada masa DPR periode 2009-2014 dan tidak selesai. Sementara untuk periode DPR saat ini menunggu penugasan dari Badan Musyawarah DPR.
Sehingga, sambungnya, tentunya masih banyak hal-hal yang belum diatur atau sudah diatur tetapi tidak memberikan perlindungan bagi tersangka, terdakwa dalam KUHAP kita yang masih produk kolonial.
\"Intinya dari hukum acara formil ini adalah menghindari kesewenangan dari aparat penegak hukum dalam menegakan hukum materiilnya,\" kata Agus Budianto.
(Robbi)
http://nasional.harianterbit.com/nasional/2015/05/10/28034/43/25/Revisi-KUHAP-Tak-Perlu-Akomodir-Putusan-MK